Kamis, 28 Februari 2013

Kembali


Terlalu banyak hal yang mampu melenyapkan rasa sedih dalam relung hati ketika kedua kakiku menjejak di kota yang selalu membuatku rindu pulang., Yogyakarta. Kota yang memiliki banyak cerita dari setiap manusia yang pernah mennginjak tanahnya, menyimpan kenangan pahit manis mereka di setiap sudutnya, menanamkan rasa rindu agar segera kembali menjumpainya lagi. Kota yang ramah dan hangat layaknya rumah yang seharusnya.
Hingga disinilah aku berada, satu tahun setelah perjumpaan kita yang terakhir, di kota yang kau sebut sebagai rumah. Alun-alun kidul Yogyakarta selalu ramai ketika malam hari. Beberapa penjaja sewa penutup mata menghampiriku dan menawari penutup mata yang mereka punya untuk mencoba permainan yang sangat terkenal di alun-alun. Pohon beringin kembar itu masih saja menunggu untuk ditaklukan.
Aku berdiri sembari menikmati suasana alun-alun dan menonton orang-orang yang mencoba peruntungannya agar bisa melewati pohon kembar dengan sempurna. Senyum kecil mengembang di bibirku.
“Ini…,” ucapnya pelan sambil menyodorkan penutup mata yang ia sewa dari penjaja keliling.
Aku tertawa. “Kamu mau aku nyoba permainan ini?” tanyaku.
“Kenapa? Nggak berani?!” tantangnya dengan penuh percaya diri.
“Nggak berani? Enak aja kalau ngomong!” balasku. “Tapi ini Cuma permainan konyol aja.”
“Hei, nggak ada salahnya kan mencoba?”
Aku mengangguk pelan.
“Mitosnya hanya orang yang berhati bersih yang bisa melewati pohon itu.”
“Cuma mitos ‘kan?” kataku meremehkan.
Ia tahu kalau aku tak percaya dengan mitos, karena itu ia langsung menutup mataku denga penutup mata yang tadi ia berikan padaku. Aku mencoba menghalangi aksinya itu tapi ia sangat sigap dan menjadi lebih galak seperti ayah yang sedang menghukum anaknya dan membuatku menurut. Sekali-kali menyenangkan hatinya, pikirku.
“Semoga berhasil,” bisiknya pelan di telinga kananku lalu mendorong tubuhku perlahan. Kakiku melangkah dan hanya terus melangkah dalam hitamnya pandanganku.
Hitamnya langit malam di atas sana kembali membuka hitamnya rindu dalam hatiku dan membuatku berharap laki-laki dengan jaket abu-abu itu menghampiriku. Laki-laki yang setahun lalu datang menyapaku dengan suaranya yang menghangatkan hatiku yang terlalu dingin karena masa lalu. Membuatku larut dalam tiap untaian kata yang keluar dari mulutnya, menceritakan tentang tiap sudut kota Yogyakarta yang indah. Laki-laki yang membuatku jatuh cinta pada Yogya dalam satu hari kebersamaan kami ketika itu
Kututup mataku dengan penutup mata yang kusewa dengan harga ribuan rupiah dan kemudian melangkahkan kakiku seperti setahun lalu.

Aku menunggumu kembali, menceritakanku sejarah sambil menyesap hangatnya ronde di alun-alun kidul Yogyakarta. 

Minggu, 24 Februari 2013

Wanna go 'home'




Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu

Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
(Katon Bagaskara-Yogyakarta)



Yogyakarta. Kota yang terletak di sebelah tanah kelahiran gue, Klaten. Kota masih selalu buat gue jatuh cinta sejak kecil. Entah kenapa gue juga gak tau, kota itu punya sesuatu yang beda di hati gue dari sekian banyak kota-kota keren dan indah di nusantara yang  ini. Pokoknya Yogya itu semacam punya sihir buat gue tiap denger ataupun baca namanya.
Yogyakarta. Kota dimana gue berharap akan menjadi tempat gue untuk pulang. Kota dimana gue bercita-cita untuk bisa membangun rumah senja disana kelak. Semoga kelak suami gue kelak adalah seorang Yogyakarta, atau paling nggak punya cita-cita yang sama dengan gue untuk menikmati masa senja kita di kota indah itu.
Mungkin ini akan terdengar berlebihan, tapi tadi siang air mata gue emang beneran keluar ketika baca tentang tempat-tempat wisata yang subhanallah keren dan cantiknya di kota itu. Menangis, seperti orang yang jatuh cinta diam-diam pada seseorang dan tak mampu menyentuhnya. Seperti orang yang terlalu sesak untuk menimbun rindu, rindu untuk pulang.
Ketika kecil, hampir setiap tahun gue dan keluarga mudik ke Klaten dan Salatiga. Setiap mudik itu selalu melewati kota Yogya, dan gue inget banget suatu waktu ortu gue nunjukin Candi Prambanan ketika bus malam yang kami naiki melewatinya. Sejak itu gue yang suka penasaran mulai tertarik dengan candi Prambanan, dan candi itu yang lebih gue inget ketimbang Borobudur. Tapi ketika masa-masa ingusan itu gue belum sekalipun menginjakkan kaki kecil gue di kota itu karena liburan gue lebih berkutat di kota Klaten dan Salatiga aja, kampung halaman ortu.
Gue juga inget pernah nulis cerita (mungkin novel) yang ngabisin buku setebal 58 lembar dengan latar kota Yogyakarta. Lalu cerita pendek yang gue inget judulnya adalah, Yogya I’m in love yang sekarang entah dimana tulisan-tulisan itu.
Keinginan besar untuk bisa menginjakkan kaki di Yogyakarta selama bertahun-tahun akhirnya baru terwujud beberapa tahun lalu ketika diajak kerabat. Meskipun tidak terlalu puas, tapi setidaknya rindu gue terbalas ketika kaki gue benar-benar menyusuri Malioboro yang terkenal itu dan pasar Beringharjo di seberangnya. Kagum. Betapa kerennya kota ini, kata gue dalam hati ketika menyusuri jalanan Yogyakarta yang lengang dan lebar itu. Membuat gue berkata pada diri gue kalau gue harus balik lagi ke kota ini nanti. Beberapa tahun berikutnya gue pun memang benar-benar kembali kesana, dan makin jatuh cinta.
Tahun kemarin gue udah berencana bakal menjelajah kota ini ketika liburan lebaran, namun ternyata gue gak beruntung karena keluarga gak jadi mudik. Gue bukan gak berani untuk liburan sendiri, tapi gue merasa kalau lebaran tanpa keluarga sendiri  itu sangat aneh. Selain itu libur kerja gue juga singkat. Maka dari itu, gue berharap banget semoga tahun ini bisa mudik semua dan gue bisa pergi ke kota tetangga tanah kelahiran gue itu. Banyak banget mimpi-mimpi yang berusaha gue terjemahkan dalam rencana-rencana yang semoga bisa gue buat jadi nyata.
Mengunjungi pantai-pantai yang ternyata masih belum banyak terjamah turis, Pantai Ngandong, Drini,  Pok Tunggal, Sundak, Parangtritis, cave tubing di Goa Pindul, menikmati malam di Bukit Bintang, dinner di angkringan, dan mimpi-mimpi lainnya (Inginnya sih dengan seseorang yang special yaaahhh, biar lebih kerasa romantismenya gitu.. halaaahhh…!!).
Sebenernya sih masih banyak banget yang mau diungkapkan, tapi terlalu sulit menerjemahkannya dalam aksara (jiaahhh) :D Semoga nanti akan ada postingan tentang liburan gue di kota itu (amiin). Tunggu tanggal mainnya!!

Pastinya gue gak mau berhenti berharap, gak mau berhenti bermimpi. Gue mau kembali kesana. Gue mau pulang kesana.
Yogyakarta, I wanna go home…

I want to go home,
Let me go home,
It’ll all be alright,
I’ll be home tonight,
I’m coming back home.
(Westlife-home)


Rabu, 13 Februari 2013

Surat yang (mungkin) tak akan sampai


Untukmu, lelaki pemilik senyum dua tahun lalu…

Waktu terus berlalu begitu kejam hingga aku tak menyadari bahwa angka terakhir dalam barisan yang disebut tahun itu sudah berubah menjadi angka tiga dan tidak lagi satu. Mereka terus berlalu hingga akhirnya sampai di hari ini aku mengingat lagi. Bukan sengaja mengingatmu tetapi mereka, kumpulan memori dua tahun lalu, mengetuk-ngetuk pintu hatiku yang masih saja sepi dibalik rimbunnya rindu yang belum layu. Tentang kamu yang semuanya berputar di angka dua. Tentang kamu yang kini berada terlalu jauh hingga membuatku harus berhenti diantara jarak kita yang tak lebih dari puluhan kilometer.

Bagaimanakah dirimu kini, lelaki yang dulu kupanggil mas sersan? Adakah senyummu yang selalu membuat hatiku meleleh masih sama manisnya seperti dulu? Ahh, dunia serasa memerah jambu ketika itu hingga hatiku menjelma bak taman bunga berkawan erat dengan rindu. Tapi itu semua tentu saja hanya kumpulan adegan berjudul ‘dulu’ dan ‘kini’ punya cerita yang merupa pilu.

Aku masih sama seperti gadis yang malu-malu dua tahun lalu, tak berani mengungkap kata padamu. Untuk itu aku memilih untuk menitipkan semuanya pada selembar surat yang mungkin saja tak akan sampai di tanganmu. Bukan aku tak tahu hendak kukirim kemana surat ini, hanya saja aku ingin surat ini menjadi sedikit peredam sesaknya hatiku yang tiada sesiapapun yang tahu.

Andai kamu tahu betapa pandainya aku menyimpan rindu diantara angka yang terus menjejak di hariku. Betapa kamu yang selalu terlintas di kepalaku ketika jemariku mulai menari di atas tuts aksara. Betapa kamu yang menjadi tokoh utama dalam rangkaian kalimatku. Betapa kamu membuatku kembali menemukan cita-cita masa kecilku.

Lelah. Bohong bila aku bilang tak pernah lelah menyimpan semua memori, harapan, mimpi, dan banyak rindu untukmu.
Sakit. Tentu saja sakit ketika akhirnya kamu datang dengan seseorang yang kau pilih untuk menjadi separuh hidupmu.

Untukmu yang senyumnnya pernah melelehkanku…

Terima kasih sudah pernah hadir dalam hidupku yang begitu datar dan menjadikannya bergelombang dan penuh warna.
Terima kasih sudah membuatku merasakan indahnya dunia merah jambu dan tentu saja terima kasih sudah mengajarkanku kekuatan ketika kenyataan datang terlalu kejam menghujam.

Aku tak tahu harus membalas semua yang pernah kau hadirkan dalam hidupku dengan apa. Deretan angka yang kini terasa begitu besar antara kita sudah membuatku begitu pandai menekan rasa. Mungkin aku hanya bisa menyelipkanmu dalam doa seperti biasa, hanya saja doa yang tentu saja berbeda.

Semoga kamu berbahagia dengannya yang sudah kamu pilih untuk menjadi seseorang yang akan selalu bersamamu dalam tiap langkah perjuanganmu, wanita yang akan mengenakan seragam hijau muda dan bersanding denganmu yang begitu gagah dalam balutan seragam hijau tentara nasional negara tercinta.



Kota Hujan, satu hari di bulan kedua

Dariku, si gadis kecil dua tahun lalu