Kita duduk bersisian, menunggu layar besar di depan sana
memutar filmnya. Sebuah film sci-fi. Entah di menit ke berapa kamu
mulai tak merespon komentarku tentang film itu. Hampir di paruh pertama film,
sesuatu jatuh di pundak kananku. Kepalamu. Aku terkejut tentu saja. Kamu
tertidur (lagi).
Kau tahu, itu bukan kali pertama kau bisa tertidur ketika
film sedang berlangsung. Aku masih ingat, pada kali pertama atau kedua, aku
marah dan kesal denganmu. Bagaimana bisa kau tidur senyenyak itu, dengan suara
film yang terdengar sangat keras memenuhi ruangan? Kau membuatku terlihat
bodoh; mengoceh sendiri sementara dirimu entah sudah sampai di alam mimpi yang
mana lagi.
Tapi itu dulu. Mungkin aku sudah mulai memahamimu. Aku tak
lagi kesal jika kau tertidur (lagi) di tengah pertunjukan film. Aku membiarkan
kepalamu tetap di pundakku. Ya, sampai filmnya berakhir. Lampu studio tak lagi
padam. Lalu aku akan melihat ekspresimu yang lucu ketika kubangunkan.
Maaf karena tertidur lagi, katamu kali itu. Terlihat sekali
bahwa kau merasa bersalah.
Aku tertawa kecil. Bahkan hal seperti itu sudah sangat
kumaklumi. Aku bilang padamu untuk tidak pergi nonton saja jika kamu teralalu
lelah. Kita bisa tinggal di rumah. Akan kubiarkan kau tidur sementara
aku di dapur. Aku akan membuatkanmu kue. Kau suka dengan bolu kopi buatanku.
Nanti kita duduk berdua di balkon rumah, menikmati bolu kopi
dan secangkir teh hangat. Bukankah itu lebih menyenangkan?
Kau menjawabnya; aku hanya ingin membuatmu senang.
Lagipula, bukankah ini film yang kamu nantikan sejak beberapa pekan lalu?
Kau selalu mengingat hal-hal kecil seperti itu. Terima
kasih.
Kota Hujan,
31-01-2015
Diikutkan dalam event #30HariMenulisSuratCinta