Teruntuk kamu, lelaki yang kelak akan datang..
Malam ini, hari kedelapan di bulan pertama tahun kesekian, aku menyempatkan diri tuk menuliskan sesuatu untukmu. Bukan surat cinta yang penuh kata rindu, bukan pula surat tentang harapan tuk cepat bertemu, hanya sebuah surat tentang impian kecilku. Kutuliskan sekarang agar kelak aku tak lupa tentang ini jika kita benar -benar sudah bertemu. Kelak.
Kau tahu, aku suka memandang langit sore dari balkon rumahku, rumah orang tuaku. Ketika mendapati langit kemerahan di atas sana, aku bergegas naik dengan ponselku. Ya, aku memotretnya. Hatiku berdecak kagum pada mahakarya di atas sana. Cantik.
Mungkin kau mulai bertanya-tanya apa sebenarnya impianku. Ini hanya sederhana. Jika kelak kita sudah bersama setelah hari itu, ketika kau mengucapkan ijab kabul meminangku, aku ingin kita meluangkan waktu 'tuk menikmati lukisan sore dengan dua cangkir teh atau kopi. Ah, aku tahu kau mungkin sibuk nantinya, tapi aku bisa menunggumu pulang di sana, di teras rumah kita.
Sayang, itu hanya satu dari sekian impian kecilku. Semoga itu sesederhana yang kuharap. Sederhana namun begitu berharga di tengah kesibukan kita masing-masing nantinya.
Selamat melangkah lagi, sayang. Aku masih merapal doa yang sama, semoga Allah selalu menguatkan kedua kakimu 'tuk terus melangkah, menujuku.
Kota Hujan,
Hari kedelapan di bulan pertama
Kamis, 09 Januari 2014
Minggu, 05 Januari 2014
Sah (2)
Sah.
Tiga huruf itu nyaris membuat jantungku lolos dari tempatnya. Binar bahagia terpancar dari manik mata hitamnya serta bibir yang sukses mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas itu menyunggingkan senyum bahagianya.
Adegan pertengkaran sebulan lalu berputar cepat di kepalaku. Ketika rahasia itu sampai di telinganya hingga membuatnya murka, hubunganku dengan lelaki yang kini sedang menyematkan cincin yang kuimpikan untuk hari terhebatku.
Cincin bermata aquamarine itu melingkar di jari manisku. Seharusnya. Aku, bukan perempuan yang dua puluh tiga tahun lalu mengeluarkanku dari tempatku bertumbuh selama sembilan bulan sepuluh hari.
Tiga huruf itu nyaris membuat jantungku lolos dari tempatnya. Binar bahagia terpancar dari manik mata hitamnya serta bibir yang sukses mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas itu menyunggingkan senyum bahagianya.
Adegan pertengkaran sebulan lalu berputar cepat di kepalaku. Ketika rahasia itu sampai di telinganya hingga membuatnya murka, hubunganku dengan lelaki yang kini sedang menyematkan cincin yang kuimpikan untuk hari terhebatku.
Cincin bermata aquamarine itu melingkar di jari manisku. Seharusnya. Aku, bukan perempuan yang dua puluh tiga tahun lalu mengeluarkanku dari tempatku bertumbuh selama sembilan bulan sepuluh hari.
Langganan:
Postingan (Atom)