Sabtu, 07 Desember 2013

Kembali ke Kotamu


Beberapa hari lalu aku diingatkan lagi oleh seseorang tentang sesuatu yang dulu begitu menggebu dalam diriku, mungkin juga dirimu, yang mau tak mau membuatku kembali mengingatmu yang satu paket dengan masa lalu. Tentang cita-cita mengunjungi kotamu, kota kita. Berawal dari sapaan yang ramah dibarengi dengan satu garis yang melengkung di bibirmu sore itu, di salah satu kursi di dalam gerbong kereta yang tengah melaju cepat di atas lintasan besinya. Membawa kita dan manusia-manusia lainnya ke kota yang begitu membuatku benar-benar jatuh cinta pada akhirnya.

Aku bukan orang yang mudah mencair dengan orang lain. Selalu butuh waktu untukku ikut hanyut dalam percakapan bersama orang yang baru kukenal, terlebih pada lelaki, namun kamu yang entah dengan sihir apa berhasil membuatku dengan mudahnya hanyut dalam aliran ceritamu. Sebuah perkenalan singkat namun begitu hangat. Kamu mengulurkan tangan lebih dulu dengan bersemangat sembari mengucapkan namamu yang kusambut dengan sedikit malas.

Kota itu, kota kelahiranmu yang menjadi obrolan seru kita di tengah suara deru kereta yang terus beradu dengan bisingnya suara dari penumpang sekitar kita. Kamu menceritakan beberapa tempat yang menurutmu sangat indah, bahkan kamu dengan penuh percaya diri berani bertaruh kalau aku akan jatuh cinta pada mereka. Aku tergelak. Pede benar orang ini, umpatku dalam hati. Detik berikutnya aku tetap mendengarkan dengan baik tiap kata yang keluar dari bibirmu, mengabaikan Sara Bareilles yang kupaksa berhenti menyanyikan King of Anything ketika kau menepuk pelan pundakku untuk memintaku memindahkan jaket double collar yang kuletakkan di bangku kosong sebelahku, yang ternyata adalah milikmu.

Obrolan kita terhenti ketika kamu beberapa kali menangkap basah aku yang menguap di tengah obrolan kita malam itu. Kamu mempersilahkan aku untuk memejamkan mata lebih dulu. Sempat terdengar tawa pelan ketika aku memiringkan badan ke arah jendela kecil di samping kiriku dan memejamkan mataku.

Perasaan kecewa menelusup dalam hatiku ketika kereta kita berhenti di tujuannya pagi itu. Seorang perempuan paruh baya yang duduk di depan kita mencoba membangunkanku yang begitu pulas. Mataku dengan cepat menyesuaikan keadaan dengan cahaya matahari pagi dan aku tak mendapatimu ketika mataku mencari seorang lelaki yang penuh semangat menceritakan kotanya di sampingku kemarin. Kursi itu kosong tanpa menyisakan sesuatu pun. Ah, setidaknya kita menyempatkan diri untuk saling mengucapkan salam perpisahan.

Kedua kakiku sukses menginjak kotamu yang menyambut kali pertama kedatanganku dengan ramahnya, seolah tersenyum dan mengucapkan selamat datang padaku. Selamat datang di kota yang indah, ujar suara seseorang tepat di telinga kananku dari arah belakang. Aku dengan sigap membalikkan badan dan mendapatimu tepat di depan wajahku, dekat sekali hingga ujung indera pencium kita nyaris bersentuhan, menghadirkan getaran aneh yang tetiba menyerbu aliran darahku yang kemudian menyebarkannya hingga ke seluruh tubuh. Aku berinisiatif untuk mengambil satu langkah ke belakang, lalu kita sama-sama kikuk. Seperti sebelumnya, kamu selalu pandai mencairkan kekakuan suasana. Kamu menawariku sarapan bersamamu dengan makanan khas dari kotamu. Mungkin aku harus mengakui kehebatanmu karena lagi-lagi aku pun menyetujui gagasanmu untuk makan pagi bersama di salah satu sudut pemberhentian kereta yang mulai ramai.

Kamu membuatku menyadari sesuatu dan akhirnya membuatku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Mengapa lelaki yang baru kukenal tak sampai dua belas jam lalu ini begitu hebat karena mampu membuatku begitu akrab dengannya, seperti teman yang sudah bertahun-tahun bersama. Aku bahkan tak menyimpan sedikitpun rasa curiga padamu. Siapa sebenarnya kamu? Aku terpaksa menyimpan deretan pertanyaan dalam otakku ketika kamu menawarkan diri untuk menemaniku menikmati kota, menelusuri tiap sudutnya, hingga menemukan tempat yang kau bilang cantik dan indah. Lagi-lagi aku menyetujui gagasanmu itu. Kita membuat janji untuk bertemu lagi di Alun-alun Kidul malam hari nanti. Aku bergumam dalam hati kalau sepertinya liburanku kali ini tak sekedar mengunjungi Malioboro ataupun Parangtritis yang sudah sangat tekenal itu. Akan lebih hebat dari sekedar bayangan awal ketika aku dengan modal nekat mengunjungi kota yang selalu jadi destinasi liburan impianku sejak lama.


Dua mangkuk ronde menemani obrolan kita malam itu, mengobrolkan banyak hal dan mendengarkanmu bercerita tentang kotamu hingga rencana perjalanan kita esok. Ya, aku menerimamu untuk menjadi pemanduku selama liburanku yang hanya dua hari.  Esok paginya, kamu menungguku di depan tempatku menginap di daerah Malioboro, sesuai janjimu semalam di Alun-alun. Aku tersenyum mantap untuk memulai perjalananku, bersamamu. Aku masih ingat betul ketika kamu menjabarkan dengan menggebu tentang menyusuri sungai bawah tanah Goa Pindul yang akan membuatku terkesan dengan keindahan di dalam goanya yang masih aktif dengan stalaktit dan stalagmitnya. Lepas itu kamu mengajakku mengunjungi pantai Indrayanti kemudian pantai Sadranan yang tak kalah indah dari pantai-pantai lainnya. Katamu lagi, pantai-pantai di Gunung Kidul itu luar biasa cantik dan masih banyak yang tersembunyi. Jalan menuju ke sana pun tak mudah, namun semuanya akan terbayar dengan kecantikan pantainya, debur ombak yang putih, dan pasirnya yang bersih.

Hari sudah sore ketika sepeda motor yang kau pinjam dari temanmu itu membawa kita pulang menuju Malioboro. Kamu menawariku untuk sejenak mampir di tempat yang disebut Bukit Bintang. Seperti Puncak di Cisarua, komentarku ketika kita duduk bersisian sembari menikmat jagung bakar. Kamu hanya terkekeh mendengarnya dengan pandangan mata menatap landscape kota yang berkelip sejauh mata memandang, seperti bintang di langit malam. Kemudian kamu bertanya sesuatu padaku, mengapa aku mau ikut dalam perjalananmu dan bersama orang yang baru dikenal di kereta dari stasiun Pasar Senen. Entah, aku pun tak tahu mengapa aku begitu mudah percaya padamu, mungkinkah karena kebetulan saja? Tak ada yang disebut kebetulan, katamu. Aku mengalihkan pandanganku dari kerlip lampu di bawah sana padamu, menunggu kalimatmu selanjutnya. Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu dan melakukan perjalanan ini bersama, kamu bisa saja mengabaikanku ketika di dalam kereta, menolak ajakanku untuk sarapan di Lempuyangan, ataupun menolak pertemuan kita di Alun-alun yang akhirnya menelurkan rencana yang ternyata sudah kita jalani hari ini, jelasmu lagi.

Aku tersenyum mendengar jawabanmu. Menurutmu apa kita ditakdirkan untuk bertemu lagi, begitu tanyaku. Kamu balik memandangku, mengatakan padaku kalau kamu tak tahu dan jika nanti kita bertemu lagi, biarkan itu menjadi kejutan untuk kita. Jika kamu merindukan aku, maka kembalilah ke kota ini, ia akan menyambutmu dengan senyuman hangat yang sulit kau lupakan, begitu katamu dengan yakin dan tawa yang begitu lepas. Aku pun tertawa mendengarnya. Memang siapa yang akan merindukanmu, kataku geli. Lalu kamu dengan nada penuh keyakinan mengatakan kalau aku boleh saja tak merindukanmu, namun aku akan merindukan perjalanan ini dan tentu saja kota ini. Aku hanya bisa terkekeh mendengar kata-kata yang selalu keluar dengan nada yang penuh percaya diri darimu. Kembalilah jika kamu rindu, katamu yang terakhir sebelum kita meninggalkan bukit itu.

Aku selalu rindu pada kotamu, juga kamu. Kabarmu tak lagi kudapat sejak sepuluh bulan lalu, satu tahun setelah pertemuan kita. Surat elektronik, media kita saling bertukar sapa, tak lagi darimu di barisan atasnya.

Dear Sekar,

Hari ini, tepat di hari ketiga di bulan kesembilan, satu tahun setelah perjalanan kita. Seharusnya hari ini aku sedang menunggumu di stasiun tempat kita pertama kali makan pagi bersama, Lempuyangan, sesuai janji kita setahun lalu. Dua piring nasi yang masih panas dengan gudeg, serta dua gelas teh beraroma melati mungkin sudah menanti di warung makan itu. Jujur, aku tak mampu menikmati rasa nikmat yang sama seperti yang kamu rasakan ketika nasi dan gudeg itu menyentuh lidahmu. Aku terlalu sibuk menikmati kamu, wajahmu dari sisi kirimu. Wajah yang beberapa tahun lalu hanya bisa aku lihat dari kejauhan.
Perpustakaan, menjadi tempat favoritku menghabiskan waktu ketika masih menyandang status pelajar berseragam putih abu-abu. Bukan karena buku-buku yang berjejer rapi di setiap rak di ruangan itu,  namun karena kamu. Dari sudut favoritku, di ujung ruang perpustakaan yang sepi, mengawasimu dari balik kaca jendelanya. Melihat tawamu yang begitu menggelitik hatiku, berharap kamu tak menangkap basah aku yang mengawasimu dari perpustakaan ini agar aku bisa lebih lama melihat tawa yang begitu renyah. Satu semester saja perpustakaan menjadi sahabatku, karena setelahnya aku harus ikut orang tuaku ke Surakarta, meninggalkan kamu di kota yang berada di selatan ibukota negara tercinta. 
Aku percaya Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu kelak, dan jaket double collar yang membuatku kesal awalnya itu ternyata adalah jalan yang diberikan untukku. Semalam suntuk kita membicarakan Yogya. Aku bersyukur karena kamu tak mengenaliku sebagai seseorang yang pernah satu sekolah beberapa tahun lalu.
Maaf karena aku tak akan bisa lebih sering mengirimu surat lagi. Kewajibanku sebagai abdi negara akan banyak mengambil waktu yang sebenarnya ingin kuberikan padamu. Tanah di timur nusantara sudah menungguku.  Kamu tentu sudah mendengar kabar tentang gejolak yang terjadi di tanahnya, tempat aku berpijak untuk waktu yang cukup lama.
Sampaikan rinduku pada kota cantik kita, Yogya.

Di Timur Nusantara, 03 September 2013
Pranatha Nayottama

Surat terakhir yang kuterima itu masih terekam dengan baik di salah satu file memori otakku sebelum akhirnya berita dari berbagai media menyelipkan namamu sebagai korban dari penembakan di tanah Papua.  Aku menghela nafas dalam-dalam, menenangkan diri sendiri. Rangkaian gerbong kereta menjadi pemandanganku siang ini. Disesaki dengan banyaknya manusia dan bisingnya suara mesin yang beradu dengan suara dari pengeras suara di atas sana, pun dilengkapi dengan terik matahari yang sukses meneteskan peluh. Lagu Come Home dari  One Republic dan Sara Bareilles mengalun pelan di telingaku. Otakku memindai kembali pertemuan kita di gerbong itu dengan cepat. Kedua sudut bibirku melengkung ke atas, melihatmu tersenyum di sana, di tempat yang tak bisa ku jangkau. Sekali lagi aku membenarkan letak ransel canvas warna beige yang kugendong di pundakku seraya memantapkan hati menuju kotamu, yang kamu bilang akan selalu membuatku jatuh cinta dan akhirnya rindu untuk kembali, Yogyakarta.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar