Kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri. Kurasa aku menyetujui gagasan ini. Selama ini aku terlalu sibuk dengan pikiranku tentang mereka yang tak terlalu suka dengan pilihanku hingga membuatku menjatuhkan diri dalam ruang kesedihan yang kuciptakan sendiri. Aku melihatnya tersenyum di sana pun sudah menumbuhkan kebahagiaan dalam hatiku. Andai aku bisa lebih mendekatkan langkahku kesana sekedar ikut merasakan kehangatan itu, sayangnya aku tak ingin merusaknya. Senyum yang satu dibalas dengan senyuman yang lebih hangat. Bahagia, sesederhana itu.
Aku sengaja mampir ke taman
kanak-kanak tempat gadis kecilku bersekolah ketika aku keluar sebentar untuk
urusan kantor. Amabel tertawa ketika perempuan itu menggelitik pinggangnya. Disamping
mereka yang sedang larut dalam tawa bahagia, berdiri Adriana dan juga Sinta,
pengasuh Amabel. Bibirku membentuk senyum dibarengi dengan perasaan bahagia
yang memenuhi hatiku. Adriana benar-benar berhasil membuat hati Mam tergerak
untuk menemui cucu yang belum pernah ia gendong sejak gadisku itu lahir lima
tahun lalu.
Jemariku dengan cepat mengetik
sesuatu di ponsel kemudian menekan kirim ke nomor Adriana. Di sana ku lihat
Adriana mencari-cari arah, mencariku. Ia bahkan tahu aku berada tak jauh
darinya walau aku tak memberitahukannya. Kemudian sebuah pesan masuk ke
nomorku, dari Adriana.
**
Amabel membiarkan es krim dalam
mangkuknya mulai mencair tanpa sekalipun disentuhya sejak pelayan meletakkannya
di meja kami. Ia hanya menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil memasang
wajah cemberut. Hujan menahan kami sore ini dan itu tak sesuai dengan
keinginannya. Seharusnya sore ini kami pergi ke rumah Mam karena sejak
pertemuan Amabel dan Mam serta Adriana kemarin sore itu membuat Amabel tak
sabar untuk mengunjunginya. Aku ingin sekali mengabulkan keinginannya, namun
aku masih terlalu ragu dengan Mam. Mungkinkah ia benar-benar melunak
perasaannya sekarang?
“Permisi, boleh ikut menunggu
hujan bersama di meja ini?” tanya sesorang yang membuatku tersentak dari segala
pertanyaan yang berputar di dalam kepalaku. Aku menoleh ke sumber suara,
begitupun Amabel. Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jaket warna coklat tua
berdiri menunggu jawaban kami. Aku mengangguk pelan.
Lelaki itu tersenyum senang lalu
memilih duduk di samping Amabel yang juga tersenyum pada orang yang baru
dikenalnya. “Hai cantik,” sapanya pada gadis kecilku.
“Hai, Om...,” balas Amabel dengan
wajah senang sementara aku mengerutkan kening, bertanya –tanya sejak kapan
mereka saling mengenal karena sepertinya mereka terlihat akrab.
“Hans,” panggilku padanya. Hans
mengailhkan pandangannya ke arahku yang masih butuh penjelasan. “Ini karena
kamu tak pernah mengenalkanku padanya, jadi aku mencoba berkenalan dengannya
sendiri.”
“Oke. Sejak kapan?” tanyaku
langsung.
“Sebulan lalu di toko buku,”
jawabnya dengan mata yang kembali pada Amabel. Aku mencoba mengingat-ingat
kapan aku melepaskan Amabel di toko buku sebulan lalu hingga memberi lelaki ini
kesempatan untuk berkenalan dengan gadis kecilku. “Ketika kamu sibuk mencari
novel terjemahan dan membiarkan si cantik ini membaca buku dongeng Disney.”
Hans lagi-lagi menjawab pertanyaan yang tak keluar dari bibirku. Aku jadi
bertanya-tanya apa dia ini bisa membaca pikiran orang?
“Kok, es krimnya dibiarin meleleh
gitu, cantik?” tanya Hans lembut pada Amabel dan gadis itu kembali ke perasaan
kesalnya.
“Aku nggak mau makan karena nggak
jadi ke rumah nenek gara-gara Ibu,” ceritanya sambil memandang kesal padaku.
Mata Hans mengikuti arah matanya dan tersenyum tertahan.
“Di luar hujan, sayang,”
sanggahku.
“Iya, tapi kalau Ibu nggak
lama-lama di toko buku , kita bisa sampai di rumah nenek daritadi.” Kali ini ia
memalingkan wajah ke arah jendela yang mulai mengembun.
“Oke, Ibu minta maaf ya, nanti kalau
hujan reda, kita ke rumah nenek?” usulku mencoba mencairkan kekesalannya.
Amabel hanya diam tak menjawabku dengan wajah yang masih menatap jendela.
“Sayang...,” panggilku mencoba
meraihnya yang ada di seberangku. Hans memandangku sedih.
“Cantik,” panggil Hans,
sepertinya ia ingin membantu. Amabel mulai mengalihkan padangannya dari jendela
dingin itu padaku dan kemudian pada Hans. Kenapa ia merespon Hans lebih baik
dariku? Bukankah Hans hanya orang yang baru dikenalnya?
“Beneran nanti kita ke rumah
nenek kalau hujannya reda?” tanya Amabel kembali bersemangat. Aku mengangguk
mengiyakan pertanyaanya. “Om Hans boleh ikut ‘kan?”
Lalu apa lagi ini? Kenapa Amabel berharap Hans bisa ikut ke rumah Mam?
Aku memandang Hans yang berusaha menghindari mataku. Ia memandang Amabel sambil
memasang wajah menyesal lalu berkata, “Maaf cantik...”
“Om Hans boleh ikut kalau tidak
sibuk, bagaimana Om Hans?” Kataku buru-buru memotong kalimatnya. Sebuah senyum
terbit di bibirnya dan itu ditujukan padaku. Ah sial, apakah aku benar-benar mengatakan kalau Hans bisa ikut kami?
“Uhm, oke...,” ucapnya dengan
senyum yang masih mengembang padaku. Aku kikuk dan buru-buru mengalihkan diri
pada Amabel yang juga terlihat lebih senang. Ini hanya untuk gadi kecilmu, Alliana, ujarku dalam hati.
“Asyik, Om Hans ikut ke rumah
nenek...,” seru Amabel sambil memeluk lengan Hans yang terlihat... kekar. Oh, please Alliana!
**
Pintu kayu yang tadi ku ketuk
beberapa kali kini terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan kaca mata yang betengger
manis di hidungnya terlihat terkejut melihatku yang ternyata sudah mengusik
sorenya yang biasa ia habiskan dengan membaca buku di teras belakang rumah.
“Mam,” ucapku tertahan. Untuk
pertama kalinya, sejak lima tahun lalu, bibir Mam tersenyum padaku.
“Alliana,” balas Mam.
“Nenek...” panggil Amabel. Mam
segera menyambut cucunya dengan pelukan dan ciuman yang banyak pada kening dan
kedua pipinya sambil menggendongnya. Kemudian Mam menyadari ada seseorang lagi
bersama kami.
“Assalamualaikum, Tante,” sapa
Hans dengan sikap sopannya. “Saya Hans, teman Alliana.”
“Waalaikumsalam,” balas Mam
kemudian memandangku. Matanya seolah bertanya siapa lelaki di sampingku ini. “Temannya Alli?” tanya Mam
memastikan.
Aku buru-buru menambahkan, “Teman
kerja.”
Mam tersenyum. “Oh, mari masuk,”
ajak Mam. Dibukanya pintu itu lebih lebar dan Mam berjalan lebih dulu dengan
Amabel di gendongannya, diikuti aku dan kemudian Hans di belakangku.
Samar-samar telingaku menangkap
bunyi suara Mam yang mencoba menengahi dua anak gadisnya yang berebut remote
televisi. Lalu disambung dengan suara gadis yang berteriak mengadu pada Mam
karena beberapa pakaiannya hilang dari lemarinya karena diambil tanpa izin oleh
gadis tomboi yang sedang jatuh cinta. Suara-suara itu adalah kenangan yang bahkan
masih terekam dengan baik di kepalaku.
Rupanya hujan sore ini sudah
menumbuhkan sesuatu dalam hatiku dan aku tak tahu apa itu yang sudah tumbuh di
dalam sana. Ia pun mampu melelehkan kebekuan yang hidup begitu lama, seperti semangkuk es krim yang meleleh dalam mangkuk tak tersentuh namun rasanya tetap manis. Apapun itu, ia mampu membuat bibirku tak berhenti menarik kedua sudutnya
ke atas. Aku bahagia.
**