Kamis, 05 September 2013

Luluh #TheParagraph



Kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri. Kurasa aku menyetujui gagasan ini. Selama ini aku terlalu sibuk dengan pikiranku tentang mereka yang tak terlalu suka dengan pilihanku hingga membuatku menjatuhkan diri dalam ruang kesedihan yang kuciptakan sendiri. Aku melihatnya tersenyum di sana pun sudah menumbuhkan kebahagiaan dalam hatiku. Andai aku bisa lebih mendekatkan langkahku kesana sekedar ikut merasakan kehangatan itu, sayangnya aku tak ingin merusaknya. Senyum yang satu dibalas dengan senyuman yang lebih hangat. Bahagia, sesederhana itu.


Aku sengaja mampir ke taman kanak-kanak tempat gadis kecilku bersekolah ketika aku keluar sebentar untuk urusan kantor. Amabel tertawa ketika perempuan itu menggelitik pinggangnya. Disamping mereka yang sedang larut dalam tawa bahagia, berdiri Adriana dan juga Sinta, pengasuh Amabel. Bibirku membentuk senyum dibarengi dengan perasaan bahagia yang memenuhi hatiku. Adriana benar-benar berhasil membuat hati Mam tergerak untuk menemui cucu yang belum pernah ia gendong sejak gadisku itu lahir lima tahun lalu.
Jemariku dengan cepat mengetik sesuatu di ponsel kemudian menekan kirim ke nomor Adriana. Di sana ku lihat Adriana mencari-cari arah, mencariku. Ia bahkan tahu aku berada tak jauh darinya walau aku tak memberitahukannya. Kemudian sebuah pesan masuk ke nomorku, dari Adriana.
**
Amabel membiarkan es krim dalam mangkuknya mulai mencair tanpa sekalipun disentuhya sejak pelayan meletakkannya di meja kami. Ia hanya menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil memasang wajah cemberut. Hujan menahan kami sore ini dan itu tak sesuai dengan keinginannya. Seharusnya sore ini kami pergi ke rumah Mam karena sejak pertemuan Amabel dan Mam serta Adriana kemarin sore itu membuat Amabel tak sabar untuk mengunjunginya. Aku ingin sekali mengabulkan keinginannya, namun aku masih terlalu ragu dengan Mam. Mungkinkah ia benar-benar melunak perasaannya sekarang?
“Permisi, boleh ikut menunggu hujan bersama di meja ini?” tanya sesorang yang membuatku tersentak dari segala pertanyaan yang berputar di dalam kepalaku. Aku menoleh ke sumber suara, begitupun Amabel. Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jaket warna coklat tua berdiri menunggu jawaban kami. Aku mengangguk pelan.
Lelaki itu tersenyum senang lalu memilih duduk di samping Amabel yang juga tersenyum pada orang yang baru dikenalnya. “Hai cantik,” sapanya pada gadis kecilku.
“Hai, Om...,” balas Amabel dengan wajah senang sementara aku mengerutkan kening, bertanya –tanya sejak kapan mereka saling mengenal karena sepertinya mereka terlihat akrab.
“Hans,” panggilku padanya. Hans mengailhkan pandangannya ke arahku yang masih butuh penjelasan. “Ini karena kamu tak pernah mengenalkanku padanya, jadi aku mencoba berkenalan dengannya sendiri.”
“Oke. Sejak kapan?” tanyaku langsung.
“Sebulan lalu di toko buku,” jawabnya dengan mata yang kembali pada Amabel. Aku mencoba mengingat-ingat kapan aku melepaskan Amabel di toko buku sebulan lalu hingga memberi lelaki ini kesempatan untuk berkenalan dengan gadis kecilku. “Ketika kamu sibuk mencari novel terjemahan dan membiarkan si cantik ini membaca buku dongeng Disney.” Hans lagi-lagi menjawab pertanyaan yang tak keluar dari bibirku. Aku jadi bertanya-tanya apa dia ini bisa membaca pikiran orang?
“Kok, es krimnya dibiarin meleleh gitu, cantik?” tanya Hans lembut pada Amabel dan gadis itu kembali ke perasaan kesalnya.
“Aku nggak mau makan karena nggak jadi ke rumah nenek gara-gara Ibu,” ceritanya sambil memandang kesal padaku. Mata Hans mengikuti arah matanya dan tersenyum tertahan.
“Di luar hujan, sayang,” sanggahku.
“Iya, tapi kalau Ibu nggak lama-lama di toko buku , kita bisa sampai di rumah nenek daritadi.” Kali ini ia memalingkan wajah ke arah jendela yang mulai mengembun.
“Oke, Ibu minta maaf ya, nanti kalau hujan reda, kita ke rumah nenek?” usulku mencoba mencairkan kekesalannya. Amabel hanya diam tak menjawabku dengan wajah yang masih menatap jendela.
“Sayang...,” panggilku mencoba meraihnya yang ada di seberangku. Hans memandangku sedih.
“Cantik,” panggil Hans, sepertinya ia ingin membantu. Amabel mulai mengalihkan padangannya dari jendela dingin itu padaku dan kemudian pada Hans. Kenapa ia merespon Hans lebih baik dariku? Bukankah Hans hanya orang yang baru dikenalnya?
“Beneran nanti kita ke rumah nenek kalau hujannya reda?” tanya Amabel kembali bersemangat. Aku mengangguk mengiyakan pertanyaanya. “Om Hans boleh ikut ‘kan?”
Lalu apa lagi ini? Kenapa Amabel berharap Hans bisa ikut ke rumah Mam? Aku memandang Hans yang berusaha menghindari mataku. Ia memandang Amabel sambil memasang wajah menyesal lalu berkata, “Maaf cantik...”
“Om Hans boleh ikut kalau tidak sibuk, bagaimana Om Hans?” Kataku buru-buru memotong kalimatnya. Sebuah senyum terbit di bibirnya dan itu ditujukan padaku. Ah sial, apakah aku benar-benar mengatakan kalau Hans bisa ikut kami?
“Uhm, oke...,” ucapnya dengan senyum yang masih mengembang padaku. Aku kikuk dan buru-buru mengalihkan diri pada Amabel yang juga terlihat lebih senang. Ini hanya untuk gadi kecilmu, Alliana, ujarku dalam hati.
“Asyik, Om Hans ikut ke rumah nenek...,” seru Amabel sambil memeluk lengan Hans yang terlihat... kekar. Oh, please Alliana!
**
Pintu kayu yang tadi ku ketuk beberapa kali kini terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan kaca mata yang betengger manis di hidungnya terlihat terkejut melihatku yang ternyata sudah mengusik sorenya yang biasa ia habiskan dengan membaca buku di teras belakang rumah.
“Mam,” ucapku tertahan. Untuk pertama kalinya, sejak lima tahun lalu, bibir Mam tersenyum padaku.
“Alliana,” balas Mam.
“Nenek...” panggil Amabel. Mam segera menyambut cucunya dengan pelukan dan ciuman yang banyak pada kening dan kedua pipinya sambil menggendongnya. Kemudian Mam menyadari ada seseorang lagi bersama kami.
“Assalamualaikum, Tante,” sapa Hans dengan sikap sopannya. “Saya Hans, teman Alliana.”
“Waalaikumsalam,” balas Mam kemudian memandangku. Matanya seolah bertanya siapa lelaki  di sampingku ini. “Temannya Alli?” tanya Mam memastikan.
Aku buru-buru menambahkan, “Teman kerja.”
Mam tersenyum. “Oh, mari masuk,” ajak Mam. Dibukanya pintu itu lebih lebar dan Mam berjalan lebih dulu dengan Amabel di gendongannya, diikuti aku dan kemudian Hans di belakangku.
Samar-samar telingaku menangkap bunyi suara Mam yang mencoba menengahi dua anak gadisnya yang berebut remote televisi. Lalu disambung dengan suara gadis yang berteriak mengadu pada Mam karena beberapa pakaiannya hilang dari lemarinya karena diambil tanpa izin oleh gadis tomboi yang sedang jatuh cinta. Suara-suara itu adalah kenangan yang bahkan masih terekam dengan baik di kepalaku.
Rupanya hujan sore ini sudah menumbuhkan sesuatu dalam hatiku dan aku tak tahu apa itu yang sudah tumbuh di dalam sana. Ia pun mampu melelehkan kebekuan yang hidup begitu lama, seperti semangkuk es krim yang meleleh dalam mangkuk tak tersentuh namun rasanya tetap manis. Apapun itu, ia mampu membuat bibirku tak berhenti menarik kedua sudutnya ke atas. Aku bahagia.
**
 

The Lunch #TheParagraph





1st paragraph by Wita Purwati
Seperti waktu yang terus berjalan, aku tak mungkin berhenti sampai di sini. Kelak aku pasti akan membungkam mulut-mulut itu. Hanya saja aku belum dipertemukan dengan waktu yang akan menyambut segala pilihanku. Inilah pilihanku. Pilihanku yang berada diantara bukan pilihannya. Mungkin inilah salah satu jalan yang terbaik untukku. Aku jadi teringat perkataan seorang teman lama ketika aku bertanya tentang letak kebahagiaan. Dimanakah kebahagian itu berada. Bagaimana bisa menemukan kebahagiaan. Dan dengan cepat dia menjawabnya begitu sederhana namun penuh keyakinan. Letak kebahagiaan itu ada pada hati. Pada cinta. Menurutnya cinta ya cinta. Tak pernah akan ada kata benci di dalamnya. Tak perlu mencari dimana letak kebahagiaan itu. Karena kebahagian itu manusia yang ciptakan sendiri. Kebahagian itu ada pada diri manusia sendiri. Melakukan segala hal dengan cinta. Maka kebahagiaan pun akan datang. Ahh, aku jadi kangen kamu.


Suara pantofel beradu dengan keramik terdengar mendekati kubikelku lalu berhenti tepat di samping kananku. Mataku tak beralih dari layar untuk mengedit artikel yang harus kuserahkan besok siang. Tentu saja aku harus menyelesaikan ini secepatnya agar Nona Serba Sempurna itu tak mengeluarkan kata-kata yang pedas level sepuluh untuk kesekian kalinya.
“Alliana...,” panggil seseorang yang sedari tadi kuabaikan kehadirannya.
“Hmmm...”
“Makan siang?”
Aku menggeleng. Tanpa kusangka, dia langsung memutar kursiku hingga aku nyaris jatuh kalau saja tak berpegangan pada sisinya. Seorang lelaki dengan kemeja yang lengannya digulung sampai siku dan celana panjang warna hitam itu melihatku dengan tatapan galak.
“Ini akan jadi yang kesepuluh jika kau menolak makan siang bersamaku!” Ia memberi penekanan pada kata ‘kesepuluh’ untuk mengingatkanku tentang itu. Ya, aku sudah sepuluh kali, jika ia tidak salah menghitung, menolak ajakan makan siang ataupun tawaran pulang bersamanya. Tentu aku punya alasan tentang itu.
“Aku punya banyak pekerjaan, Hans,” kataku mencoba menolaknya lagi untuk kesekian kali.
Ia memutar matanya. “Alasan basi!” Lalu tangannya menarikku hingga aku lepas dari kursi putarku dan berjalan melewati barisan kubikel menuju lift. Aku meronta dan berusaha melepaskan tanganku darinya, namun tangannya yang besar semakin menguatkan cengkramannya. 
“Hans, please,” pintaku dengan nada lirih. Tanganku mulai terasa sakit. Ia tak bergeming dan tetap membawaku masuk ke dalam lift ketika pintu besi itu bergeser ke dua sisi.
Baru ketika di salam lift yang ada tak terlalu penuh itu, ia melepaskan tangannya. Aku menghela nafas lega dan mengusap-usap pergelangan tangannya yang tadi dicengkeramnya begitu kuat. Ia tersenyum puas dengan tatapan matanya ke arah depan, sementara aku mengerucutkan bibir dan mengumpat dalam hati. Kebisuan memunculkan sesuatu yang aneh antara kami.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di lantai dasar. Pintu lift terbuka dan aku buru-buru melepaskan diri darinya. Memang dasar sial aku hari ini, dengan gerakan super cepat pun ia berhasil menangkapku lagi.
“Tidak kali ini, Alliana,”katanya menyeringai padaku. Bibirku pun mengerucut lagi. Rasanya aku seperti anak kecil yang tak ingin dihukum gurunya.
“Oke, kita makan siang,” kataku pasrah karena aku tahu Hans bukanlah lelaki yang mudah menyerah. “Tapi aku yang pilih tempatnya.” Aku balik menyeringai padanya, merencanakan sesuatu.
**
Dua porsi nasi ayam bersama teh hangat tersaji di depan kami tak lama setelah aku memesannya di warung tegal yang kupilih acak ketika mobilnya menyusuri jalanan dari kantor redaksi tadi. Kulirik ia yang duduk di sampingku, memandang piring nasinya. Aku tersenyum.
“Kenapa? Nggak sesuai dengan ekspektasi?” sindirku.
Matanya beralih dari piring nasi ke wajahku. Tersenyum hingga membuatku kikuk. “Sedikit,” jawabnya santai. “Tapi aku akan belajar untuk menyukai hal-hal kecil yang membuatmu bahagia.”
“Tapi aku tak yakin kamu bisa menyukai semuanya.”
“Sudah kubilang aku akan belajar, Alliana.”
Aku menghela nafas. Ia bilang semuanya? Apakah statusku serta Amabel termasuk di dalamnya?
Ia masih belum melepaskan pandangannya dariku dan aku harus segera melakukan sesuatu untuk mengakhirinya. “Ayo makan, jam istirahat tinggal sebentar lagi,” ujarku kemudian mulai menyendok makan siangku.
“Uhmm, ini enak,” bisiknya padaku setelah sendokan pertama yang masuk ke mulutnya. Bibirku hanya mampu mengeluarkan tawa kecil mendengarnya. “Oh ya, bagaimana kabar si cantik?” tanyanya ringan.
Aku menoleh ke arahnya dan memastikan kalau aku tak salah dengar. Ia menanyakan siapa?
“Si cantik?” tanyaku.
“Iya, si cantik,” jawabnya. “Seharusnya kamu mengenalkan kami, Alliana,” lanjutnya lagi.
Otakku masih belum menemukan maksud dari kata-katanya, Siapa ‘si cantik’ yang dimaksudnya. Melihat ekspresiku, mungkin dia tahu kalau aku kebingungan mencerna yang diucapkannya.
“Aku hanya bisa menyebutnya si cantik karena aku belum tahu namanya dan kau pun tak pernah menyebutkannya sekali pun.”
“Maksudmu siapa?” tanyaku polos.
Ia tertawa. “Oh, jadi kamu nggak tahu siapa yang aku sebut si cantik itu?” tanyanya. Aku pun menggeleng pelan.
“Alliana, kamu benar-benar membuatku bahagia,” ucapnya senang ditandai dengan senyumnya yang mengembang di bibirnya.
Aku membuatnya bahagia? Memang apa yang sudah kulakukan? Seharusnya aku tak mengajaknya makan di sini karena ternyata ini membuat otaknya kacau.
“Lebih baik kita cepat habiskan ini dan kembali ke kantor. Aku tak mau punya masalah karenamu,” kataku dan berkonsentrasi untuk mengahabiskan makan siangku. Tapi sial, selera makanku menjadi aneh jika teringat kalimat yang diucapkannya tadi.
Fokus, Alliana! Aku meneriaki diriku sendiri dalam hati.
“Oke, tapi lain kali kau tetap harus mengenalkanku padanya.”
Aku mulai kesal. “Siapa sih yang kau sebut si cantik itu?!”
Hans terlihat terkejut dengan pertanyaanku. “Are you jealous, Alliana?
Aku memutar bola mataku. “Oh please, Hans. Memang apa yang membuatku harus cemburu? Kita bahkan tak punya hubungan apapun!”
“Eits, siapa bilang kita tak punya hubungan apapun? Kita punya.”
Aku melongo sambil mengingat-ingat hubunga seperti apa yang sudah kupunya dengannya.
“Kita rekan kerja, Alliana. Kamu harus ingat itu.”
“Tentu saja, rekan kerja.” Aku menyetujuinya.
Makan siang ini  membuat otaknya benar-benar kacau!
“Tapi meski kita hanya sebatas rekan kerja, kuharap kau mau mengenalkanku padanya,” ucapnya dengan tatapan memohon. “Ia gadis yang cantik, mirip sekali denganmu. Aku pernah melihatmu menggandeng tangannya masuk ke toko buku beberapa minggu lalu.”
Ah, aku sepertinya mengatahui siapa yang ia sebut si cantik itu.
“Amabel maksudmu?” tanyaku.
Matanya membulat. “Jadi namanya Amabel?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan kecil.
“Nama yang cantik, Alliana,” pujinya.
“Dia anakku.”
“Aku tahu ia anakmu,” katanya. “Dan aku tahu kamu adalah single mom.”
Oke, sekarang Hans sudah statusku dan juga Amabel. Lalu informasi apa lagi yang sudah ia dapatkan? Kenapa Hans begitu gigih mendekatiku? Aku janda dengan satu anak, sementara ia lajang yang kaya dan sukses dengan perusahaannya. Ia bahkan bisa mendapatkan perempuan lajang yang lebih cantik dan sukses di luar sana.
“Aku sudah bilang, Alliana, kalau aku akan belajar mencintai hal-hal yang membuatmu bahagia. Apapun itu,” bisiknya di telingaku.
“Hans...,” Ia membuatku diam ketika ia berbisik lagi di telingaku, memotong kalimat yang hendak keluar dari bibirku.  “Aku bahagia denganmu, Alliana.”
Tetiba kebisuan menyerbu. Ekor mataku menangkap beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Hans kembali dengan makan siangnya, meninggalkanku yang masih terpaku kerena kata-kata yang ia bisikkan di telingaku.
**

Minggu, 01 September 2013

Pilihanku #TheParagraph



Hidup selalu tentang sebuah pilihan. Tak peduli benar atau  salah, kita tetap harus memilihnya satu seolah kita memang tak punya pilihan. Seperti aku yang memilih untuk mengabaikan setiap kata-kata yang keluar dari bibir mereka. Ketika itu aku selalu berkeras bahwa keputusan yang aku ambil adalah pilihanku, yang akan kujalani dalam hidupku. Lalu mereka pun memilih untuk menjaga jarak, atau lebih tepatnya menjauhiku karena pilihanku. Lalu apa yang salah dengan pilihanku? Hanya karena aku tak mengikuti kata-kata mereka lalu menyisihkanku dari sesuatu yang disebut keluarga? Ah, betapa mereka tak pernah tahu kalau aku butuh mereka di saat sulit seperti ini. Keluarga, tempat yang dulu selalu menjadi tujuanku pulang dan mendapatkan kehangatan yang penuh dukungan. Tempat yang kini menjelma bak tempat asing yang dingin, miskin dengan senyum dan kata-kata untukku.  


Aku melihatnya sedang mendorong trolli belanjanya, menyusuri lorong makanan ringan sambil mencari sesuatu. Dengan segenap keberanian yang kupunya pun akhirnya aku berjalan mendekatinya sambil membawa keranjang belanjaku. “Masih suka diam-diam membeli cokelat?” tanyaku mencoba membuka percakapan ketika aku tepat di belakangnya. Suara roda trolli berhenti bersamaan dengan ia membalikkan badannya ke arahku. Ia melengos ketika mengetahui siapa yang tadi berucap padanya.

“Hai, Dri,” kataku mencoba menyapanya dengan nada yang senormal mungkin.
“Hei,” balasnya datar dengan ekspresi malas. Kemudian matanya beralih mencari sesuatu di sekitarku. “Sendiri?” tanyanya. Ah, aku baru sadar kalau ia mencari anakku.
“Dia di rumah, mengerjakan tugasnya dengan pengasuh,” jawabku.
“Uhm, oke. Aku duluan,” ucapnya lalu berbalik dan mendorong trollinya lagi, melewatkan rak yang berisi cokelat kesukaannya. Aku buru-buru mengikutinya dan menyejajarkan langkah di sampingnya.
“Mungkin kita bisa makan siang bareng, Dri?” kataku.
“Mam sudah masak di rumah,” tolaknya.
“Satu kali tak makan siang di rumah nggak akan membuat kamu tak dianggap seperti aku, Dri.”
Ia menoleh ke arahku. “Karena itulah aku beda sama kamu.”
“Aku cuma kangen, Dri.”
“Kalau begitu datang saja ke rumah,” tukasnya berlalu mempercepat langkahnya.
“Tak semudah itu, Dri,” kataku lemas. “Kamu ‘kan tahu bagaimana keadaannya.”
“Ya, tentu saja aku tahu akibat dari keputusan bodohmu itu lima tahun lalu.”
Dia mengungkitnya lagi seakan itu adalah satu kesalahan yang sangat besar yang sudah kulakukan. Apakah salah memilih untuk hidup bersama dengan lelaki yang dicintai? Adriana tentu belum tahu betapa sulitnya aku ketika itu. Lalu mereka semakin melabeliku dengan kata ‘salah’ dan mencemooh pilihanku dulu ketika lelaki itu akhirnya meninggalkanku demi perempuan lain ketika seorang anak perempuan yang lahir dari rahimku baru berusia satu tahun.
**
Sesuatu menyerbu ingatanku begitu aku membuka pintu mobil Adriana di halaman rumah. Sudah beberapa tahun aku tak menginjakkan kaki di rumah ini semenjak aku membuat keputusan yang membuatku menjauh dari rumah  yang memiliki kenangan di tiap sudutnya bagiku. Tak banyak yang berubah selain tanaman koleksi Mam yang semakin subur dan banyak.
“Kamu hanya bisa berdiri di situ?” Pertanyaan Adriana membuatku cepat sadar dari nostalgiaku.
“Sorry,” ucapku pelan lalu mengikuti langkahnya.
Dengan cepat ia memutar gagang pintu dan mendorong kayu jati berukir itu agar kami bisa masuk. Lagi-lagi sesuatu yang aneh menghantam ingatanku hingga membuat jantungku berdegub lebih cepat. Benarkah pilihan yang kuambil ketika Adriana hanya menawariku pilihan untuk makan siang di rumah ini atau tidak ada makan siang bersamanya sama sekali? Apapun itu, kuharap aku bisa melewatinya.
“Mam, aku pulang...,” Adriana memberitahu kedatangannya seperti kebiasaannya, dengan suara yang keras. Biasanya sebentar lagi Mam akan berteriak...
“Adri... sudah berkali-kali diberitahu...” Mam menggantung kalimatnya ketika matanya melihatku yang berdiri tak jauh di belakang Adriana.
Bibirku melengkung ketika mataku bisa melihat perempuan itu lagi. Mataku berkaca-kaca, tapi aku menahannya untuk tetap dalam bendungan. Lagi-lagi perasaan aneh menyerangku. Aku hanya rindu, sangat rindu Mam. “Hai, Mam.” Hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulutku dengan suara yang tiba-tiba terdengar serak.
Sementara itu, Mam hanya memandangku dengan tatapan yang masih tak bersahabat. Sepertinya Mam masih belum melunak sikapnya atas keputusan yang pernah kuambil. Aku terus menunggu bibir Mam mengeluarkan beberapa kata untukku, namun aku buru-buru menyadari kalau ia tak akan melakukannya.
“Aku yang mengajaknya makan siang bersama kita, Mam,” ucap Adriana berusaha memecah kekakuan dan keheningan yang terlalu lama. Mata Mam beralih memandang Adriana dan dengan lembut mengajaknya ke ruang makan.
Ia bahkan tak mengucapkan satu  kata pun padaku.  Aku berdiri terpaku dengan kepala tertunduk, berusaha untuk menguatkan diriku untuk semua ini meski aku ingin sekali menangis. Ah, bukankah aku sudah bertahun-tahun hidup dengan semua sikap dingin Mam dan mengapa aku tak bisa menguasai diriku sekarang ini? Kuatlah seperti biasa, Aliana.  Sekali lagi pertanyaan itu muncul, apakah aku membuat keputusan yang benar dengan kembali ke rumah ini?
Sebuah sentuhan menarik lenganku untuk mengikutinya. Adriana, ia memang adik yang baik. Beruntung ia lebih banyak mewarisi sifat Ayah dalam dirinya, begitu peduli dibalik sikap cueknya. Bisa ditebak pula darimana aku mewarisi sifat keras kepalaku ini, dari Mam.
**
“Kau hanya perlu mengunjunginya lebih sering, Al,” ucap Adriana begitu mobilnya berhenti tepat di depan pagar rumahku. Ia sepertinya tahu sesuatu yang membuatku terus menutup rapat bibirku selama perjalanan menuju rumahku.
“Datanglah sesekali dengan Amabel,” usulnya. “Mam pasti kesepian kalau aku tugas ke luar kota,” lanjutnya lagi.
“Entahlah, apa aku bisa melakukannya sebaik tadi jika tak ada kamu tadi,” sahutku.
Adrian menghela nafas. “Mam sebenarnya merindukanmu seperti kau merindukannya, Al.” Kalimat Adriana membuatku tersentak. Mungkinkah Mam merindukanku sebanyak aku merindukannya? Mungkinkah ia jug berharap bisa memelukku seperti aku ingin memelukknya?
Aku memandang gadis tomboi yang sudah beranjak dewasa ini. “Thank’s, Dri...” ucapku kemudian membuka pintu mobilnya. Adriana kemudian melongokkan kepalanya sebelum aku kembali menutupnya. “Sampaikan salamku untuk keponakanku ya,” katanya dengan senyum yang nyaris tak seperti senyuman. Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menutup pintu mobilnya.
Deru mesin terdengar sebelum akhirnya mobil putih itu melaju meninggalkanku yang masih berdiri di depan rumahku dengan beberapa kantung belanjaan di tanganku. Aku meyakinkan diriku kalau aku sudah memilih yang benar, tak peduli akan seberapa sulit jalanku nantinya. Pilihanku untuk mencoba untuk pulang ke rumah, ke dalam pelukan sebuah keluarga yang hangat.
**