Langit makin menua di barat. Aku menikmati hari Sabtu sore yang
sangat langka bagiku dan lelaki di sampingku ini. Duduk berdua di beranda rumah
dengan berbagai obrolan dan dua cangkir capucinno buatannya.
“Bukan cinta yang membuat dunia berputar,” katanya sambil
meraih buku di meja. Keningnya berkerut membaca judul buku yang kini di
tangannya.
Aku tersenyum. “Tertarik mau baca? Itu buku bagus lho.”
Dia menggeleng pelan. “Mana sempat aku baca beginian di
mess, aku Cuma tertarik sama judulnya aja,” jawabnya santai.
“Kamu setuju kalau cinta yang membuat dunia ini berputar?”
tanyaku.
Dia terdiam tanpa ekspresi. Lama.
“Menurutku bukan cinta yang membuat dunia ini berputar, tapi…,”
kata lelaki itu menggantung kalimatnya. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya
yang duduk di sampingku.
“Tapi…?”
“Tapi dunia ini yang akan berputar untuk cinta,” jawabnya
diikuti senyum yang selalu membuatku jatuh hati itu.
“How?” tanyaku.
“Mmm… kasih tau nggak ya..?!” jawabnya iseng dengan mimik
wajah jahilnya. Aku mencubit lengannya kesal. Dia tertawa puas karena berhasil membuatku
penasaran.
“Ih, ngeselin banget sih!”
“Emang mau tau?” godanya. Aku mengagguk semangat.
“Mau tau apa mau tau banget…?” godanya dengan tampangnya
yang super iseng.
Aku menyilangkan tanganku di dada dan memasang wajah
ngambek. Lalu tawanya terdengar makin keras melihat tingkahku.
--
Tepuk tangan meriah menutup acara launching novel kelima ku
siang itu. Kemudian acara selanjutnya adalah sesi foto dan tanda tangan yang
cukup banyak. Semua acara telah selesai dan aku hendak meninggalkan café tempat
launching buku itu ketika seseorang bertopi menghampiriku. “Maaf mba, boleh
minta tanda tangannya?” katanya dengan kepala tertunduk sambil menyodorkan buku
yang ternyata bukan bukuku.
Aku mengerutkan kening bingung. Buku yang sama seperti yang
pernah kuselipkan diam-diam di ransel seorang tentara sebelum ia berangkat ke Lebanon enam tahun
lalu.
“Mas Henry!” seruku yang membuat orang-orang di sekitarku
menoleh ke arahku. Mukaku merah padam. Kutarik tangannya keluar café.
Lalu kami ngobrol sambil jalan. Dia akhirnya melepas topinya
sambil tersenyum. Senyum yang sudah terlalu lama hilang.
“Selamat ya, akhirnya jadi penulis beneran,” uacapnya.
Aku tersenyum. “Thanks!”
Lalu aku merasakan bunga-bunga mulai tumbuh memenuhi hatiku.
Seharusnya tak boleh begini. Kami, aku dan dia, sudah lama putus. Beberapa bulan
setelah ia berangkat ke Lebanon, aku merasa kami seharusnya mengakhiri hubungan
kami karena sifat kekanakanku ketika itu.
“Buku ini kukembalikan,” katanya sambil menyodorkan lagi
buku karangan Wangi Mutiara dan Hana May itu padaku.
“Sudah menemukan cinta yang membuat duniamu berputar?”
tanyaku dengan ekspresi wajah sesantai mungkin.
Dia tersenyum lalu menggeleng. Lalu aku teringat sesuatu. “kamu
berutang penjelasan tentang dunia yang berputar untuk cinta!”
“Bukankah sudah terjawab?” katanya terkekeh.
“Mana?”
“Kita,”ucapnya. “Waktu terus berlalu dan sudah enam tahun lebih
kita tak bertemu bukan? Aku belum menemukan cinta yang membuat duniaku
berputar, entah dengan kamu.”
Aku mengangguk dan hanya diam mendengarkannya.
“Tak peduli sejauh apa kita berputar mencari
cinta, dunia akhirnya mempertemukan kita lagi dengan sesuatu yang pernah kita
sebut cinta.”
Ya, dunia benar-benar
berputar untuk kita, untuk cinta.
***