Untukmu Abu abu,,
Sesuatu yang sama memang tak akan terulang untuk kedua kali.
Lalu kamu mencoba mematahkannya dengan cara berbeda.
Kamu menarik, mengulur, dan tak berujung.
Kadang membiarkan mereka menari-nari lagi itu bukan tindakan yang tepat, tapi entah harmoni yang mana lagi kau gunakan yang mau tak mau menggoda mereka untuk menari (lagi).
Melenyapkan pelangi dan menempatkan dirimu yang abu-abu di atas langit.
Aku benci dan terkadang merutuki diri sendiri.
Mungkin aku harus menjadi kejam pada mereka, yang selalu kau sihir tuk menari.
Membunuhnya mungkin. Bagaimana menurutmu?
Kota Hujan,
21 Mei 2012
Senin, 21 Mei 2012
Senin, 14 Mei 2012
Cinderella and The Beast
“Cindy, cepat bawakan tas Prada
milikku!” teriak Stania dari dalam kamarnya yang kemudian disambung dengan
teriakan saudara perempuannya yang bertubuh gemuk, Alexa. “Cindy, jangan lupa
dengan high heels merahku!” teriak Alexa dari kamar yang satu lagi.
Sementara itu, Cindy, seorang
gadis yang berpakaian kumal dan sedikit berantakan terlihat sibuk sejak pagi
sampai matahari tak tampak lagi kini. Setelah mematikan kompor di dapur, ia
tergesa-gesa menuju ruang khusus untuk mengambil barang yang diminta oleh
kakak-kakak tirinya dan segera mengantarkannya ke kamar mereka.
Setelah selesai puas memoles
wajah mereka, Stania dan Alexa kemudian pergi meninggalkan rumah untuk pergi
pesta. Malam ini pesta dansa akan diadakan di istana dan tentu saja kedua kakak
tirinya sangat ingin ikut serta dalam pesta mewah tersebut. Kabarnya Pangeran
Henry ingin mencari seorang perempuan yang akan dijadikan istrinya. Sebenarnya Cindy
pun ingin ikut, namun ia tak mempunyai gaun yang pantas untuk dikenakan ke
pesta mewah itu.
Cindy yang malang duduk termenung
di loteng sempit yang juga telah menjadi kamarnya beberapa tahun ini. Tepatnya
sejak Ayahnya yang duda menikah lagi dengan seorang janda beranak dua yang kini
pun telah meninggal dunia. Setelah itu Ayahnya pergi berlayar untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya dan belum juga kembali hingga kini. Sebelum pergi
berlayar, ayah menanyakan barang apa yang paling anak-anaknya inginkan sebagai
hadiah jika ayah kembali dari pelayarannya. Stania meminta tas mewah seperti
Prada, Hermes, dan Louis Vuitton. Lalu Alexa meminta yang shoe fetish itu tentu
saja meminta sepatu mahal rancangan desainer terkenal seperti Christian Louboutin
ataupun Stuart Weitzman. Sedangkan Cindy, hanya ingin Ayahnya bisa kembali
dengan selamat dan setangkai mawar merah.
Gadis malang itu duduk seorang
diri di dekat jendela kecil yang juga sebagai satu-satunya sumber cahaya di ‘kamar’nya
yang sempit dan pengap. Bel rumah berbunyi berulang-ulang ketika Cindy sedang
terlarut dalam kenangannya. Dengan langkah gontai, Cindy turun untuk membukakan
pintu dan alangkah terkejutnya Cindy ketika ia tahu siapa yang sejak tadi
membunyikan bel rumah.
“Ayah?!” seru Cindy tak percaya
dan ia langsung memeluk tubuh ayahnya dengan erat. “Ayah aku sangat rindu
padamu!”
“Begitupun aku, Cindy. Bagaimana
kabarmu?” Tanya Ayah. Mereka kemudian bercerita sambil berjalan menuju ruang
tengah.
“Lalu mengapa kau tak pergi ke
pesta dansa seperti kakak-kakakmu?” tanya Ayah.
Cindy tertunduk lesu. “Aku bahkan tak punya
gaun yang cantik, Ayah.”
Sedetik kemudian sang Ayah
membuka barang bawaannya, dibukanya tas besar yang ternyata berisi gaun yang
sangat cantik dan tentu saja ada sepasang sepatu kaca. Ayah menyuruh Cindy segera berganti pakaian
dan pergi ke pesta dansa dan dengan senang hati Cindy segera mengenakan gaun
dari ayahnya itu.
Beberapa waktu kemudian Cindy
kembali dengan gaun dan sepatu kacanya. Ayahnya pun mengantar sendiri putri cantiknya
ke istana Pangeran. Sesampainya di depan
istana, ayahnya berpesan pada Cindy. “Putriku, ini mawar merah yang kau pinta
sebelum aku berangkat berlayar dulu,” kata Ayah sambil menyerahkan setangkai
mawar merah yang merekah kepada Cindy.
“Terima kasih, Ayah,” kata Cindy
kemudian mencium pipi ayahnya.
“Sebelum kau turun, aku hanya
ingin memberitahumu satu hal, pemilik mawar ini adalah seseorang yang telah
menolongku dalam perjalanan pulang, ia mengijinkanku memetik mawarnya untuk
diberikan padamu namun ia mengajukan syarat padaku,” cerita ayah.
“Syarat? Syarat apa itu?” Tanya Cindy
tak mengerti.
“Ia ingin agar anak gadisku yang
meminta mawar ini datang ke kastilnya malam ini selepas jam duabelas malam,”
jawab Ayah. “Jadi aku harap kau jangan terlambat, kastilnya kearah utara dari
istana ini, Jika kau terlambat maka ia akan menghancurkan rumah kita dan semuanya.”
Cindy mengangguk. “Aku akan
datang, Ayah.”
Putri cantikpun turun dari kereta
kencananya dan memukau seisi istana. Pangeran pun terpesona dengan kecantikan
Cindy dan merekapun berdansa. Waktu begitu cepat berlalu, Cindy melihat jam dinding
yang berlapis emas itu sudah hampir menunjuk ke angka duabelas.
“Maaf pangeran, aku harus segera
pergi,” pamit Cindy namun pangeran menahannya.
“Tapi beritahu aku siapa namamu.”
“Ehmm… Cin..Cinderella.”
Cindy segera berlari dan sepatu
kacanya tertinggal satu di tangga istana. Di luar istana, Ayah sudah menunggu
dengan keretanya. Cindy segera masuk dan mereka pergi menuju kastil di utara.
Sang pemilik kastil yang ternyata
hidup seorang diri di kastil yang besar itu sudah menyiapkan makan malam yang
banyak di meja makan. Ia sudah menunggu seorang gadis yang dijanjikan oleh
seorang lelaki tua yang tempo hari ketahuan ingin mencuri mawar merahnya.
Pria buruk rupa itu meminta Cindy
untuk menikah dengannya, namun Cindy menolaknya dan pria itu tidak marah
asalkan Cindy mau menemaninya tinggal di kastilnya. Cindy setuju asalkan ia
diijinkan dulu malam itu dan akan kembali lagi besok malam.
**
Pangeran dan pengawalnya
mendatangi rumah-rumah untuk mencari Cinderella. Ketika tiba giliran rumah
kerumah Cindy, kedua kakaknya pun dengan yakin mencoba sepatu kaca itu namun
tak ada yang cocok. Cindy pun mencobanya dan pas di kakinya.
“Tidak mungkin!” Pangeran tak
percaya. “Tak mungkin Cinderella adalah seorang gadis kumal sepertimu!”
“Tapi aku punya pasangannya,
pangeran,” kata Cindy menunjukkan sebelah lagi sepatu kacanya. “
Ayah Cindy pun tak bisa meyakinkan
pangeran.
“Kau pasti mencurinya dari
Cinderella!” kata pangeran dengan sombong. “Pengawal, ayo kita pergi!”
Pangeran yang sombong itu pergi
dan membuat Cindy sedih dan ia pun memutuskan untuk tinggal di kastil si buruk
rupa. Disana ia menemani pria itu dengan tulus dan memabantunya mengurus
kastilnya. Hati Cindy yang terluka karena Pangeran sombong itu pun perlahan
mulai terobati oleh kebaikan hati si buruk rupa. Cindy pun menyadari bahwa ia
merasa bahwa cintanya tumbuh untuk pria itu.
Cindy mengatakan bersedia untuk
menikah dengannya. Tentu saja si buruk rupa sangat bahagia hatinya karena
berhasil menemukan wanita yang tulus padanya. Kemudian wajah si buruk rupa
berubah menjadi tampan melebihi pangeran sombong. Ternyata ia adalah Pangeran
Christo, saudara Pangeran Henry, yang dikutuk menjadi buruk rupa hingga ada
seorang wanita yang mencintainya setulus hatinya yang bisa menghilangkan
kutukan itu dengan cinta kasihnya.
_The End_
Sabtu, 12 Mei 2012
Weizi si Kancil Nakal
Weizi adalah seekor
kancil yang terkenal di seluruh penjuru hutan Lande. Ia terkenal karena
kenakalan dan ulahnya yang sering membuat penduduk hutan kesal. Bapak dan Ibu
Weizi pun sudah tak tahu bagaimana cara menasihati Weizi. Setiap hari selalu
saja ada penduduk hutan yang datang dan
melaporkan ulah si kancil kecil itu, mulai dari berkelahi dengan temannya atapun mengusili penduduk hutan. Jika dinasihati Weizi hanya sekedar
mendengar tapi tak pernah dilakukan dan berusaha berbuat baik.
Di pagi yang
cerah hari ini, Weizi seperti biasanya berjalan-jalan di hutan Lande yang
hijau. Sambil terus berjalan, ia memikirkan kejahilan apa lagi yang akan
dilakukannya hari ini. Di tengah perjalanan, seekor ular yang malang berteriak
meminta tolong. Weizi berhenti ketika ia mendengar teriakan itu. Ia
mencari-cari sumber suara dan akhirnya ia menemukan seekor ular terjebak di
bawah batang pohon yang baru saja tumbang. Weizi menghampiri ular tersebut. “Hei
ular jelek, apa yang sedang kau lakukan di bawah pohon itu?”
“Tolong aku
Weizi, aku kesakitan karena pohon ini menimpa tubuhku,” jawab ular itu
merintih.
“Kalau aku
membantumu, apa yang akan kau berikan padaku?”
Ular itu diam
mendengarnya, ia tak tahu apa yang bias ia berikan pada Weizi jika ia
benar-benar menolongnya dari pohon itu. “Hei Ular jelek, kau tidak punya
apa-apa untuk diberikan padaku?” Tanya Weizi sedikit kesal karena ular itu
hanya diam lama sekali.
“Ya sudah, aku
pergi saja. Tak ada ruginya juga untukku jika aku tak membantu ular jelek
sepertimu,” cibir Weizi lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan meninggalkan
si ular yang terus merintih kesakitan.
Hari itu Weizi
merasa bosan dengan hutan Lande yang selalu ia jelajahi hampir setiap hari.
Tiba-tiba ia terpikir untuk bermain-main di kebun manusia. Ia pun melangkah
menuju kebun yang letaknya tidak terlalu
jauh dari hutan. Sebenarnya penduduk hutan dilarang untuk memasuki
wilayah manusia oleh si Raja Hutan, namun Weizi tak mempedulikannya meski ia
tahu larangan itu. “Aku hanya ingin main sebentar saja dan tak ada yang tahu,
aku kan Weizi si kancil yang pintar,” kata Weizi dengan sombongnya.
Hanya beberapa
menit perjalanan, sampailah Weizi di kebun milik seorang lelaki bertubuh besar.
Weizi mengintip dari balik rerumputan yang tinggi dan lebat, terlihat olehnya
sayuran-sayuran segar yang tumbuh di kebun lelaki yang sudah masuk ke dalam
rumahnya. Weizi yang merasa lapar pun berniat untuk mencicipi sedikit saja
sayuran di kebun. Lalu ia mengendap-endap masuk ke dalam area kebun yang subur.
Awalnya ia memakan buah yang kebetulan jatuh dari pohonnya. Ia sangat menikmati
makan siangnya hari ini. Ternyata Weizi yang nakal tak puas hanya mencicipi
satu buah saja, wortel yang ditanam lelaki itu pun dimakannya begitupun sayuran
dan buahyang lainnya di kebun itu dimakan oleh Weizi. Karena makan terlalu
banyak, Weizi yang kekenyangan pun terlelap di samping kebun.
Sore harinya si
lelaki keluar dari rumahnya dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati kebunnya
yang berantakan. Matanya berkeliling mengamati kebun kesayangannya dan
mendapati seekor kancil sedang terlelap. Lelaki pemilik kebun yang marah pun
mengambil kayu untuk segera member hukuman bagi kancil nakal itu. Namun Weizi
segera tersadar dari tidurnya sebelum si lelaki berhasil memukulnya. Weizi
segera berlari dengan cepat menuju hutan sementara di belakangnya lelaki besar
terus mengejarnya dengan penuh amarah.
Di dekat sungai
kecil di dalam hutan Lande, lelaki itu berhasil menangkap Weizi. Lelaki itu
tertawa puas karena berhasil menangkap kancil nakal itu. “Kau sudah mengacaukan
kebunku, kali ini tak akan kulepaskan dan akan kumasak kau jadi sop untuk makan
malamku!”
“Siapa saja yang
mendengarku, tolong aku!” teriak Weizi di dalam cengkeraman lelaki besar itu.
“Inilah balasan
untukmu kancil nakal!” kata lelaki itu sambil membawa Weizi keluar hutan Lande.
Weizi terus berteriak meminta tolong namun tak ada yang menyelamatkannya. Belum
sampai keluar hutan, lelaki yang membawa Weizi itu berteriak kesakitan dan
akhirnya terjatuh. Weizi pun terbebas dari cengkeraman lelaki yang kemudian lari terbirit-birit.
Di balik
kegelapan, Weizi melihat seekor ular yang tadi siang ia tinggalkan ketika ular
itu meminta pertolongannya. “Apakah kau ular yang tadi siang tertimpa pohon
itu?” Tanya Weizi.
“Ya, aku Pitto
si ular yang tadi kau tinggalkan,”jawabnya.
“Mengapa kau
begitu baik padaku setelah apa yang kulakukan tadi siang?”
“Kejahatan tak
harus dibalas dengan kejahatan, Weizi.”
“lalu bagaimana
dengan manusia itu? Bukankah kau melukainya?”
“Aku melukainya
sedikit untuk melepaskanmu, tapi ia akan baik-baik saja karena aku tak berbisa.”
“Terima kasih
Pitto, sekarang kita berteman?” Tanya Weizi mendekat ke arah Pitto.
“Tentu saja
asalkan kau tidak berbuat nakal dan mengganggu penduduk hutan lagi,” kata Pitto
mengajukan syarat.
Weizi mengangguk
setuju. Sejak saat itu Weizi tak lagi menjadi kancil yang nakal dan ia bersahabat
baik dengan Pitto.
Langganan:
Postingan (Atom)