Sabtu, 26 Juli 2014

Hujan Turun Lagi

picture from weheartit

Hujan turun lagi, Kirana.
Aku melihatmu dari balik jendela kamarku. Berlari-lari di bawah rinai hujan. Sesekali menari, berputar-putar sambil bergandeng tangan dengan temanmu. Kamu tahu Kirana, aku ingin sekali bisa keluar dari kehangatan kamarku dan berlari menujumu. Aku ingin menari di bawah hujan. Sepertimu. Namun kamu juga tentu tahu Kirana, Ibu tak akan membiarkanku melakukan itu. Aku harus tinggal di dalam kamar dan berselimut tebal. Dan tentu saja, aku hanya bisa memandang sedih ke luar jendela kamarku. Menyaksikan gadis-gadis berpesta.

Kamu menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengawasimu di balik jendela yang buram berembun. Aku menangkap senyummu. Senyum yang melengkung di bibir pucatmu. Seharusnya kamu cepat pulang dan menghangatkan tubuhmu yang menggigil itu, Kirana. Pulanglah... jangan membuat Ibu sedih jika kamu sakit karena terlalu lama bermain hujan. Jangan marah padanya jika ia banyak melarangmu ini itu. Ibu terlalu sayang padamu. Biar kuberitahu padamu, diam di dalam kamar dan hanya memandang iri pada hujan di luar sana sungguh menyebalkan, Kirana. Maka cepatlah pulang dan menurut pada apa yang Ibu katakan.

Pintu kamarku berdecit, membuatku mengabaikan dirimu. Ibu berjalan menuju ranjangku dengan membawa semangkuk sup buatannya. "Sudah waktunya makan, Kirana." Ibu duduk di sampingku, menyuapi anak gadisnya dengan sabar. Kamu tahu Kirana, aku sungguh menyesal ketika aku justru berlari membawa marah pada Ibu karena menyuruhku berhenti bermain hujan. Andai saja bisa mengulang waktu, aku akan segera pulang. Dan Kirana--aku atau kamu, sama saja--tak akan menghabiskan waktunya di atas ranjang sambil memandangi hujan dari balik jendela saja.







Kota Hujan, 26072014

Rabu, 09 Juli 2014

Senja Kesembilan Bulan Ketujuh


Teruntuk kalian, teman-teman tersayang.
(Icha, Rina, Ani, Lina, Selvi, dan Halida. )



Semua lebur menjadi satu saat kita berjumpa. Pun sudah termasuk dengan rindu di dalamnya . Sebuah pertemuan hangat di hari kesembilan bulan ketujuh pada satu senja . Duduk bertujuh di mana mengalirlah mimpi, canda, tawa, serta rangkaian cerita antara kita.

Masing-masing dari kita tentu tahu, tak mudah mencari waktu di mana kita bisa berkumpul bersama.  Hari kerja dan hari libur yang berbeda menjadi masalah kita. Namun Tuhan selalu baik bukan? Hingga kita selalu disediakan hari untuk bertemu muka, melepas rindu, membagi cerita.

Terima kasih untuk kalian yang sudah mau meluangkan waktu hari ini. Meski hanya dengan acara sederhana di salah satu sisi kota hujan tercinta. Dibalut dengan canda, tawa, dan lelucon konyol membuatnya lebih dari kata sederhana. Terasa kaya akan cinta. Hangat seperti pelukan bunda.



Terima kasih sudah membuatku lupa akan usia. Pun membuatku lupa akan suara. Hingga ia berubah, karena bersama dengan kalian selalu banyak tawa tercipta.  Tingkah kita ketika mengabadikan kenangan seperti remaja di bawah usia. Oh, tentu kita belum tua, hanya sedikit lebih dewasa dibanding mereka. Potret-potret itu akan membuat kalian tersenyum dan menahan tawa  hingga ingin kembali ke masa sebelumnya. Ya, aku juga.



Teman-teman tersayang,
Terkadang kita menyadari sesuatu tentang usia. Akan ada waktunya untuk perlahan menjauh dari  kebersamaan kita. Satu persatu akan mengikuti langkah imamnya, membina rumah tangga. Ia—yang lebih dulu—tak akan mudah mengiyakan janji temu yang terencana. Ya, satu persatu akan menyandang gelar barunya sebagai nyonya. Lalu menggoda yang masih nona tentang kapan akan menyusulnya.
Jadi, siapa yang pertama akan jadi nyonya di antara kita?




Kota hujan, 090714
Dengan penuh cinta,



Desvian Wulan



Kamis, 03 Juli 2014

Surat Untuk Abang di Tapal Batas #2

Teruntuk Abang, di tapal batas.


Ingin kubagi sedikit cerita yang membuatku masih saja menahan tawa ketika mengingatnya.
Sebuah pemberitahuan di akun sosial media membuatku mengalihkan jemariku dari lembar putih kosong itu. Lalu aku tertawa. Seorang adik sepupu bertanya tentang siapa sosok ‘abang di tapal batas’. Tentangmu. Entah bagaimana surat yang pernah kutulis untukmu itu membuatnya begitu percaya. Ya, ia percaya bahwa kamu adalah seseorang yang sungguh nyata dalam hidup kakak sepupunya ini.

Ia kemudian menanyakan tentang pertemuan kita, di mana dan bagaimana. Lagi-lagi aku tak kuasa menahan tawa. Menjelaskan bahwa tak pernah ada temu dan sekadar perkenalan, juga balasan surat itu pun kuceritakan apa adanya. Seperti sepupu-sepupuku di Gengges (itu nama geng kami, keluarga Mbah buyut Karso Redjo), ia malah semakin brutal menggodaku. Hahaha.... Ia bahkan menyamakan kita dengan sepasang tokoh dalam novel yang kusuka (karena profesi tokoh utama sih sebenarnya), Fly to The Sky. Sepasang tokoh utama yang saling mencari satu sama lain dengan berbekal informasi yang terlalu sedikit. Tentu saja jauh berbeda dengan kita. Tak ada yang saling mencari. Hanya aku, mengagumimu. Tidak denganmu.

Tak ada yang membuatku sedih tentang kita. Tentang temu dan sapa yang tak pernah nyata. Tidak satupun, Bang. Kau justru menumbuhkan senyum tiap wajahmu muncul di antara potret-potret dalam album acakku. Jika aku butuh semangat untuk menulis lagi, rekaman video tentangmu seolah membuatku harus kembali. Berlebihan. Memang. Namun begitulah dirimu.

Abang, kucukupkan di sini suratku kali ini. Jangan bosan jika kelak aku mengirimu surat lagi. Kuharap kamu hidup dengan baik di sana. Semoga Tuhan selalu menjaga dan memberkahi tiap langkahmu.





Kota Hujan, 03072014



Desvian Wulan