picture from weheartit |
Hujan turun lagi, Kirana.
Aku melihatmu dari balik jendela kamarku. Berlari-lari di bawah rinai hujan. Sesekali menari, berputar-putar sambil bergandeng tangan dengan temanmu. Kamu tahu Kirana, aku ingin sekali bisa keluar dari kehangatan kamarku dan berlari menujumu. Aku ingin menari di bawah hujan. Sepertimu. Namun kamu juga tentu tahu Kirana, Ibu tak akan membiarkanku melakukan itu. Aku harus tinggal di dalam kamar dan berselimut tebal. Dan tentu saja, aku hanya bisa memandang sedih ke luar jendela kamarku. Menyaksikan gadis-gadis berpesta.
Kamu menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengawasimu di balik jendela yang buram berembun. Aku menangkap senyummu. Senyum yang melengkung di bibir pucatmu. Seharusnya kamu cepat pulang dan menghangatkan tubuhmu yang menggigil itu, Kirana. Pulanglah... jangan membuat Ibu sedih jika kamu sakit karena terlalu lama bermain hujan. Jangan marah padanya jika ia banyak melarangmu ini itu. Ibu terlalu sayang padamu. Biar kuberitahu padamu, diam di dalam kamar dan hanya memandang iri pada hujan di luar sana sungguh menyebalkan, Kirana. Maka cepatlah pulang dan menurut pada apa yang Ibu katakan.
Pintu kamarku berdecit, membuatku mengabaikan dirimu. Ibu berjalan menuju ranjangku dengan membawa semangkuk sup buatannya. "Sudah waktunya makan, Kirana." Ibu duduk di sampingku, menyuapi anak gadisnya dengan sabar. Kamu tahu Kirana, aku sungguh menyesal ketika aku justru berlari membawa marah pada Ibu karena menyuruhku berhenti bermain hujan. Andai saja bisa mengulang waktu, aku akan segera pulang. Dan Kirana--aku atau kamu, sama saja--tak akan menghabiskan waktunya di atas ranjang sambil memandangi hujan dari balik jendela saja.
Kota Hujan, 26072014