Kita pernah dipertemukan dalam satu waktu. Melebur jarak yang dulu pernah kukira tak pernah ada. Lalu ia -jarak- muncul di ujung temu yang hanya selewat saja. Banyak. Lebih dari waktu yang kita punya ketika bersama.
Tak ada yang tahu, pun aku, bahwa temu yang selewat itu menumbuhkan benih yang ternyata meminta waktu lebih lama. Ia tinggal, di sini. Mencuri celah di ruang memori yang mulai sesak. Memaksa tinggal dalam bilik bernama kenangan dengan nama yang manis. Sangat manis hingga membuat kedua sudut bibirku naik tiap kali menemukannya.
Sesekali aku memindai ingatan. Memutar tentang kita yang tak banyak. Berharap ada waktu untuk bisa melebur jarak kembali.
Membunuh rindu.
Lalu aku pun sadar, aku masih di sini. Jauh. Darimu.
KotaHujan,
27042014
Minggu, 27 April 2014
Sabtu, 19 April 2014
a Candle
from: here |
Kau tahu rasanya jatuh
cinta?
Iya, aku pun begitu.
Padamu. Seharusnya kita saling jujur tentang rasa yang pernah menelusup ke dalam
hati. Maaf, mungkin aku yang terlalu bodoh. Menganggap remeh soal waktu. Kupikir
akan ada lebih banyak waktu untuk kita. Dulu.
Ternyata aku salah. Aku
kalah, Claire. Aku sakit ketika kau memilih dia meski kau sendiri tahu hatimu
adalah untukku.
Kau tahu, Claire, kau
selalu cantik dalam balutan apapun, terlebih gaun putih yang melekat di tubuhmu
itu. Ah Claire, harusnya kau kenakan itu ketika bersanding denganku. Bukan dia.
Kini kau mendadak
terkenal. Banyak orang yang ingin bertemu dengan kekasihku, pengantin yang
hilang. Tujuh hari lalu. Kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi. Tidak lagi.
Parafin yang kubakar
sudah cukup panas untuk mengabadikanmu. Untukku.
...................................
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan dari @KampusFiksi yaitu #FiksiLaguku yang harus 123 kata. :o
Terinspirasi, eh nggak terinspirasi juga sih, tepatnya karena seharian ini dicekoki lagunya Ariana Grande ft Nathan Skyes - Almost is Never Enough. Hhihihihiiii...
Kota Hujan,
19042014
Rabu, 16 April 2014
Dalam Pelukan
Sudah lewat tengah malam. Anak lelaki dengan kaus kebesaran itu belum juga terlelap. Duduk mendekap lututnya di pojok ruangan sempit itu. Tak berkawan. Bagai virus yang harus dijauhi dari radius beberapa kilometer.
Matanya menerawang jauh, coba meraih senyum-senyum yang datang membelai ingatannya. Dadanya bergemuruh seperti gunung yang akan erupsi. Tangannya menyeka beberapa bulir air mata yang lolos. Karena rindu.
“Kamu harus percaya kalau kebaikan itu menular.”
“Menular? Maksudnya?” Seorang anak perempuan bertanya dengan dahi berkerut.
“Setiap kebaikan yang kita lakukan akan menciptakan kebaikan-kebaikan lainnya,” jelasnya dengan sabar pada anak perempuan di sampingnya.
“Termasuk sama Bapak yang suka mukulin kita? Atau preman yang suka malak kita itu?”
Anak lelaki itu tersenyum. “Berbuat baik itu nggak boleh pilih-pilih. Kita harus baik sama semua orang, termasuk bapak atau preman-preman itu.”
Mendengar penjelasan itu, anak perempuan berambut tipis lantas mendengus kesal. “Mereka kan jahat sama kita, kenapa juga harus dibaikin!”
“Kamu ingat nggak yang Ibu bilang ke kita bahwa nggak ada kebaikan yang sia-sia?” tanyanya yang kemudian dijawab dengan anggukan kecil si anak perempuan. “Nah, lain kali kalau anak-anak itu mengejekmu, jangan dibalas dengan kekerasan ya. Apalagi sampai melempar batu ke kepalanya.”
“Maaf ya, Bang.” Suaranya terdengar sangat pelan. Ia menunduk merasa bersalah.
Lampu di atas tiang telah berwarna merah. Ia buru-buru beranjak dari duduknya sambil menggandeng tangan anak perempuan di sampingnya. “Udah merah, ayo ngamen dulu.”
**
Tangisnya pecah di atas gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan liar. Barisan huruf dan angka pada nisannya pun mulai pudar, tapi ia masih hapal dengan apa yang tertulis di sana. Napasnya memburu. Debar jantungnya mengencang luar biasa. Peluhnya jatuh bercampur air mata, membuat wajahnya basah. Ia ketakutan.
Dalam isak tangis, ia memanggil-manggil yang sudah terkubur di bawah sana. Berharap yang dipanggilnya datang dan memberikannya.
“I-bu....”
Wajahnya jatuh di atas tanah. Tangan kecilnya berusaha menjangkau gundukannya. Memeluk makam ibunya. Langit di atasnya semakin pekat, namun tak dihiraukannya. Ia merasa berada dalam pelukan hangat ibunya di tiap malam. Melantunkan doa sambil mengelus kepalanya sampai ia tertidur. Ia terlelap. Di atas pusara ibunya.
**
“Siapa yang membunuh adikku?!” Suaranya tak pernah setinggi ini jika sedang berbicara pada orang lain, termasuk bapaknya yang sering memukuli jika ia pulang dengan jumlah recehan yang tak banyak. “Siapaaa...!!”
Seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar menggebrak papan catur yang sedang dimainkannya. Preman yang sering meminta jatah dari hasil ia mengamen di lampu merah. Rokok yang belum habis dihirup pun dibuang dengan kasar. Preman bertato naga itu tertawa.
“Aku,” jawabnya enteng. “Aku yang sudah membunuh bocah ingusan itu. Lalu kau mau apa?” tantangnya pada anak lelaki yang matanya sedang berapi-api.
“Kalau adikmu yang bodoh itu tidak mencoba memukulku dengan botol, pasti ia masih hidup sekarang. Dasar bocah tolol.” Kali ini preman dengan tato macan di bisep kirinya yang berbicara. Lalu disambut dengan tawa preman bertato naga.
Anak lelaki itu makin berapi-api melihat wajah-wajah itu tertawa. Tanpa rasa dosa. Setan-setan sedang menguasai mereka. Berpesta pora.
Darah segar mengucur deras dari perut lelaki bertato naga, membasahi kaus tipis hitamnya. Seketika tawa yang begitu membahana pun lenyap meninggalkan gema. Sebuah pisau dapur berbalut amarah setan telah ditancapkan anak lelaki itu.
Tetiba ketakutan menelusup dengan cepat ke dalam hati anak lelaki itu ketika melihat preman bertato naga limbung.
“Dasar bocah brengsek!” Preman satunya menggeram marah sambil berusah menahan tubuh temannya.
Anak lelaki itu mundur perlahan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdebar kian kencang. Tak sampai hitungan detik, kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit kumal itu mengambil langkah meninggalkan kedua preman itu.
Ia berlari. Terus berlari.
**
Belum pernah ia merasakan ketakutan yang seperti ini sebelumnya. Ia benar-benar kasihan. Hidupnya menyedihkan. Sendirian.
Masih dalam posisi yang sama sejak sipir melewati selnya, ia membuka kedua telapak tangannya. Dipandanginya lekat-lekat tangan itu. Sudah dua anak satu selnya yang harus dilarikan ke klinik karena ulahnya.
“Apa tangan ini hanya bisa menciptakan kejahatan, Ibu?”
Air matanya lolos lagi. Kepalanya tertunduk. Kedua tangannya yang menutup wajahnya pun basah air mata. Tetiba ia merasakan kehangatan menyelimuti tubuhnya yang berguncang karena tangis. Seperti pelukan Ibu.
**
w
Matanya menerawang jauh, coba meraih senyum-senyum yang datang membelai ingatannya. Dadanya bergemuruh seperti gunung yang akan erupsi. Tangannya menyeka beberapa bulir air mata yang lolos. Karena rindu.
“Kamu harus percaya kalau kebaikan itu menular.”
“Menular? Maksudnya?” Seorang anak perempuan bertanya dengan dahi berkerut.
“Setiap kebaikan yang kita lakukan akan menciptakan kebaikan-kebaikan lainnya,” jelasnya dengan sabar pada anak perempuan di sampingnya.
“Termasuk sama Bapak yang suka mukulin kita? Atau preman yang suka malak kita itu?”
Anak lelaki itu tersenyum. “Berbuat baik itu nggak boleh pilih-pilih. Kita harus baik sama semua orang, termasuk bapak atau preman-preman itu.”
Mendengar penjelasan itu, anak perempuan berambut tipis lantas mendengus kesal. “Mereka kan jahat sama kita, kenapa juga harus dibaikin!”
“Kamu ingat nggak yang Ibu bilang ke kita bahwa nggak ada kebaikan yang sia-sia?” tanyanya yang kemudian dijawab dengan anggukan kecil si anak perempuan. “Nah, lain kali kalau anak-anak itu mengejekmu, jangan dibalas dengan kekerasan ya. Apalagi sampai melempar batu ke kepalanya.”
“Maaf ya, Bang.” Suaranya terdengar sangat pelan. Ia menunduk merasa bersalah.
Lampu di atas tiang telah berwarna merah. Ia buru-buru beranjak dari duduknya sambil menggandeng tangan anak perempuan di sampingnya. “Udah merah, ayo ngamen dulu.”
**
Tangisnya pecah di atas gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan liar. Barisan huruf dan angka pada nisannya pun mulai pudar, tapi ia masih hapal dengan apa yang tertulis di sana. Napasnya memburu. Debar jantungnya mengencang luar biasa. Peluhnya jatuh bercampur air mata, membuat wajahnya basah. Ia ketakutan.
Dalam isak tangis, ia memanggil-manggil yang sudah terkubur di bawah sana. Berharap yang dipanggilnya datang dan memberikannya.
“I-bu....”
Wajahnya jatuh di atas tanah. Tangan kecilnya berusaha menjangkau gundukannya. Memeluk makam ibunya. Langit di atasnya semakin pekat, namun tak dihiraukannya. Ia merasa berada dalam pelukan hangat ibunya di tiap malam. Melantunkan doa sambil mengelus kepalanya sampai ia tertidur. Ia terlelap. Di atas pusara ibunya.
**
“Siapa yang membunuh adikku?!” Suaranya tak pernah setinggi ini jika sedang berbicara pada orang lain, termasuk bapaknya yang sering memukuli jika ia pulang dengan jumlah recehan yang tak banyak. “Siapaaa...!!”
Seorang lelaki dengan tubuh tinggi besar menggebrak papan catur yang sedang dimainkannya. Preman yang sering meminta jatah dari hasil ia mengamen di lampu merah. Rokok yang belum habis dihirup pun dibuang dengan kasar. Preman bertato naga itu tertawa.
“Aku,” jawabnya enteng. “Aku yang sudah membunuh bocah ingusan itu. Lalu kau mau apa?” tantangnya pada anak lelaki yang matanya sedang berapi-api.
“Kalau adikmu yang bodoh itu tidak mencoba memukulku dengan botol, pasti ia masih hidup sekarang. Dasar bocah tolol.” Kali ini preman dengan tato macan di bisep kirinya yang berbicara. Lalu disambut dengan tawa preman bertato naga.
Anak lelaki itu makin berapi-api melihat wajah-wajah itu tertawa. Tanpa rasa dosa. Setan-setan sedang menguasai mereka. Berpesta pora.
Darah segar mengucur deras dari perut lelaki bertato naga, membasahi kaus tipis hitamnya. Seketika tawa yang begitu membahana pun lenyap meninggalkan gema. Sebuah pisau dapur berbalut amarah setan telah ditancapkan anak lelaki itu.
Tetiba ketakutan menelusup dengan cepat ke dalam hati anak lelaki itu ketika melihat preman bertato naga limbung.
“Dasar bocah brengsek!” Preman satunya menggeram marah sambil berusah menahan tubuh temannya.
Anak lelaki itu mundur perlahan. Wajahnya memucat. Jantungnya berdebar kian kencang. Tak sampai hitungan detik, kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit kumal itu mengambil langkah meninggalkan kedua preman itu.
Ia berlari. Terus berlari.
**
Belum pernah ia merasakan ketakutan yang seperti ini sebelumnya. Ia benar-benar kasihan. Hidupnya menyedihkan. Sendirian.
Masih dalam posisi yang sama sejak sipir melewati selnya, ia membuka kedua telapak tangannya. Dipandanginya lekat-lekat tangan itu. Sudah dua anak satu selnya yang harus dilarikan ke klinik karena ulahnya.
“Apa tangan ini hanya bisa menciptakan kejahatan, Ibu?”
Air matanya lolos lagi. Kepalanya tertunduk. Kedua tangannya yang menutup wajahnya pun basah air mata. Tetiba ia merasakan kehangatan menyelimuti tubuhnya yang berguncang karena tangis. Seperti pelukan Ibu.
**
w
Langganan:
Postingan (Atom)