Waktu yang sudah berlalu begitu
cepat atau aku yang tak mau tahu hingga menyadari betapa mereka sudah jauh
meninggalkan. Ya, mungkin aku yang tak lagi peduli tentang waktu sejak malam
itu, ketika kita duduk bersama sambil menikmati wedang ronde di salah satu lesehan di alun -alun kidul Yogyakarta. Kita membicarakan banyak hal yang juga mampu membuat
kita melupakan satu hal bernama waktu.
“Lima tahun lagi?” kataku bingung
ketika kamu bertanya tentang mimpiku lima tahun lagi.
Kamu mengangguk pelan. “Iya, lima
tahun dari sekarang. Apa mimpimu?”
Otakku bekerja dengan sangat
cepat dan bibirku mengungkapkan apa yang ditemukan otakku tentang aku di lima
tahun lagi. “Tentu saja menjadi seorang istri, seorang ibu, dan juga seorang
perancang busana pengantin,” jawabku bersemangat. Kamu hanya tersenyum dan
memandangku dengan yakin.
“Jadi, apa mimpimu tentang lima
tahun lagi?” tanyaku setelah kujawab pertanyaan yang sama darimu.
Kulihat kamu menunduk, memandang
mangkuk ronde di meja. Aku menunggu.
“Mimpiku sederhana saja,” jawabmu
pelan tanpa mengalihkan pandangan dari magkuk yang isinya tinggal setengah.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Bisa kembali mengunjungi kota
ini lagi, duduk bersamamu dengan dua mangkuk ronde diantara kita, mendengar
ceritamu tentang rancangan terbarumu, atau membahas sejarah seperti yang sering
kita lakukan,” jawabmu dengan lancar.
Seperti katamu, sederhana. Aku
tertegun dan hanya bisa tersenyum tanpa tahu harus berkata apa tentang mimpi
yang katamu sederhana. Jauh di lubuk hati, aku pun berharap mimpi yang sama
denganmu.
Entahlah apa yang akan terjadi dengan lima tahun lagi karena segalanya bisa saja berubah, pikirku.
Entahlah apa yang akan terjadi dengan lima tahun lagi karena segalanya bisa saja berubah, pikirku.
Wedang ronde diantarkan oleh bapak
penjual ronde yang sama seperti lima tahun lalu. Ada kecanggungan yang datang
bersamaan dengan perginya si bapak penjual ronde. Aku menyendok wedang ronde
milikku lebih dulu dan diikuti kamu. Wedang ronde ini masih sama dengan wedang
ronde lima tahun lalu, namun lain halnya dengan kita.
“Bagaimana kabarmu?” Entah kenapa
pertanyaan itu yang meluncur dari bibirku.
“Baik, kamu sendiri bagaimana?”
tanyamu.
“Seperti yang kamu lihat,”
jawabku lalu tertawa, hambar. Kamu pun sama, memaksakan sebuah tawa untuk
keluar dari bibirmu.
“Kamu sudah sukses jadi desainer
sekarang, beritamu sudah kemana-mana.”
“Berlebihan,” kataku.
“Itu kenyataannya ‘kan? Karena
itu kami memutuskan memilihmu,” ucapmu yang lalu memandang seorang perempuan
cantik dalam balutan jilbab biru muda yang duduk disampingmu. Ia tersenyum tulus
padaku. Perempuan yang anggun dan sederhana, tentu saja jauh lebih baik dariku.
Setidaknya aku tak perlu merasa bersalah karena lebih memilih seorang pria yang
memintaku untuk menjadi istrinya dua tahun lalu.
Malam ini, apa yang pernah kita
obrolkan tentang mimpi kita benar-benar menjadi kenyataaan. Aku sudah menjadi
seorang istri, seorang ibu, dan perancang busana. Lalu kamu sudah mewujudkan
mimpimu untuk duduk kembali menikmati wedang ronde bersamaku dan tentu saja bersamanya,
mendengarkan rencana rancangan terbaruku untuk pernikahanmu, pernikahan kalian.
Waktu memang berlalu dengan
segala perubahannya, namun tempat ini, rasa wedang ronde ini, masih saja sama
seperti lima tahun lalu.
“Jadi apa mimpimu lima tahun
lagi?” Kudengar pertanyaan itu keluar dari bibirmu.
Aku yang tengah merapikan sketsa
rancanganku, mendongak dan melihatmu dengan tatapan menantang yang sama seperti
lima tahun lalu.