Jumat, 02 November 2012

Ketika




Melupakan sesuatu itu tidak semudah ketika kita berucap. Butuh waktu adalah hal yang sudah pasti. Terkadang ingatan itu justru makin melekat ketika kita mati-matian untuk melupakan. Namun jika membiarkannya tetap hidup dalam ingatan, bagaimana kita bisa beranjak dari masa lalu sementara waktu terus saja berlalu tak mau tahu?

Hujan deras menahanku di tempat ini, stasiun Bogor. Sudah limabelas menit ku habiskan dengan suara hujan bak pisau tajam perlahan membelah ingatanku, berusaha mencari-cari luka yang masih tersisa. Luka itu pun tentu saja masih ada, membiru. Tak ada yang tahu bagaimana aku terlalu pandai menyimpannya bertahun-tahun. Hidup bersama luka itu terlalu menyakitkan.

“Kamu tak harus pergi,” katanya menahan lenganku.
Aku melepaskan tangannya. “Bukankah katamu aku harus berani melawan rasa sakit ini?”
“Ketika kamu siap, kataku.”
“Aku sudah siap!”
Ia menggeleng pelan. “Belum, kamu belum siap.”
Aku mengernyitkan keningku. “Aku akan tetap tinggal di rumah dengan sekotak tisu kalau aku belum siap saat ini.”
“Kamu hanya berpura-pura siap, tapi tidak benar-benar siap,” jawabnya tegas.
Aku terdiam. Kalimat yang baru saja diucapkannya terulang dan memenuhi kepalaku. Benarkah aku belum siap? Lalu mengapa aku berani melangkah jika ternyata aku benar-benar belum siap?
“Kamu masih punya waktu untuk kembali jika belum siap, kereta akan berangkat sepuluh menit lagi,” katanya mengingatkan.

Dress selutut warna biru muda yang kukenakan khusus untuk acara hari ini pun basah. Bukan basah karena air hujan yang deras, tapi air mataku yang mengalir deras. Aku menoleh ke arahnya yang masih duduk di sampingku.

“Danu…, “panggilku. Ia pun menoleh padaku, menunggu jawabanku. “Kamu benar, aku memang belum siap.”
Dia masih saja diam seperti tahu bahwa kalimatku masih belum selesai. “Aku belum siap untuk melupakan masa lalu dengan luka yang masih tersisa di sini,” kataku dengan isak.  “Tapi aku ingin bisa melakukannya…”
Digenggamnya tanganku pelan. “Aku tahu kamu pasti bisa, dan aku tahu kamu akan tetap pergi meskipun aku mencoba menahanmu.” Dia melepaskan tangannya kemudian. “Pergilah, aku akan siap menopangmu ketika kamu mulai rapuh dan hendak jatuh.”
Suara dari speaker besar memberitahukan kalau kereta akan segera berangkat. Danu, lelaki itu tersenyum padaku sekali lagi. “Sudah waktunya kamu untuk berangkat sekarang.”
Aku mengangguk. “Boleh aku memelukmu? Aku butuh kekuatan lebih untuk menghadapi beberapa jam kedepan.”
“Tentu.”

Aku pun merasakan aliran hangat mengalir di tubuhku, seolah Danu benar-benar mengirimkan energi-nya padaku agar aku tetap bisa berdiri menyaksikan seseorang di masa lalu bersanding dengan rona bahagia penuh cinta di pelaminan. Seseorang yang pernah jadi hal terindah dalam hidup hingga membuatku berani mempunyai mimpi-mimpi besar yang ingin kulalui bersamanya. Hingga pada kenyataanya, semua itu hanyalah sekedar mimpi yang harus dibunuh pelan-pelan oleh kejutan dalam sebuah undangan berwarna putih yang dikirim ke alamatku sepuluh hari yang lalu.

Masa lalu yang indah terkadang bisa menjadi musuh terbesar dalam hidup kita.  Tak peduli seberapa merdu suara hujan yang pernah jadi indah itu menjelma menjadi pisau yang makin merobek-robek lukaku, karena aku tahu sudah ada masa depan yang menantiku datang untuk mengobati sakit yang terlalu lama hidup.
***