Minggu, 10 Mei 2015

Koella dan Lelaki Lembah Tidar

Pict from here

Judul          : Koella (Bersamamu dan Terluka)
Penulis        : Herlinatiens
Penerbit      : Divapress 
Halaman       : 278 halaman
Tahun terbit : 2012 (pertama terbit 2006)

Mendapatkan buku ini juga tak disengaja. Ah, mungkin Tuhan memang sudah menuntun saya untuk bertemu dengannya siang itu. Saya –dengan berani-beraninya—masuk ke sebuah toko buku kecil di lantai bawah di sebuah pusat perbelanjaan Kota Bogor.  Sebenarnya, anggaran bulanan untuk belanja buku saya bulan ini sudah habis. Dan memasuki toko buku itu sama saja mencari penyakit – untuk dompet saya.
Singkat cerita, saya menyusuri jajaran novel. Tidak sebanyak di toko buku besar itu memang, didominasi buku-buku lama malah. Hingga akhirnya sepasang mata minus tanpa kacamata ini menangkap gambar di kaver buku. Warnanya hijau, seorang perempuan, dan lelaki tampak belakang. Lelaki berseragam.
Bukunya sudah tak bersegel, tapi masih rapi. Sebenarnya, tanpa membaca blurb-nya pun, kemungkinan besar akan membuat lupa pada anggaran. Setelah maju-mundur untuk membeli, akhirnya ia masuk dalam kantung belanja. (Say sorry to the budget).
Oke, sudahi sedikit curhat colongan tadi. Mari kita mulai membahas Koella.
Sebelum  menemukan dan membaca novel ini, saya belum tahu tentang Koella yang ternyata memang benar-benar ada di Magelang sana. Karenanya saya agak bingung ketika Makula mengucapkan “Koella” dengan konteks berbeda. Ini seperti dari Cibinong mau ke Botani Square tapi tak tahu mesti naik angkot apa saja. Di Bogor, banyak angkot dengan bermacam trayeknya. Jadi saya tidak mau asal naik angkot yang bisa saja membuat saya nyasar entah ke mana. Mampirlah dulu saya ke kotak pencarian dengan kata kunci “Koella”. Melanjutkan kisah Makula – atau Koella—pun menjadi lebih lancar.

Koella. Perempuan-perempuan yang kelak menjadi istri konvensional. Perempuan Tidar yang tidak terjamah sebab. Kadang hanya cinta, kadang hanya mengerti. Koella, sebab cinta tak pernah bisa kita pilih, tapi cintalah yang memilih kita.
Di awal, saya diajak mengenal seorang gadis bermata cokelat, Makula Kecil. Begitulah namanya seperti yang tertulis dalam catatan kelahirannya. Ia lahir tujuh belas tahun setelah tahun 1965, masa kelam sejarah Indonesia dengan PKI-nya. Ayahnya seorang guru yang di-PKI-kan. Yang akhirnya – mau tak mau—membuat ia dicap sebagai seorang anak PKI. Dan ia mencintai seorang pemuda, Smesta Mahatvavirya. Seorang taruna Akmil dari Lembah Tidar. Seorang TNI.

Ya, sudah jelas konfliknya bukan? Cinta seorang anak PKI dengan  seorang TNI. Premis yang menarik.

Mengisahkan dari sudut pandang Koella, membuat pembaca memahami bagaimana Koella sesungguhnya. Rasa cintanya pada lelaki yang sudah dicintainya sejak lama. Rasa cintanya yang akhirnya berbalas. Rasa cintanya yang menghadapkannya pada sebuah kenyataan pahit. Rasa cintanya yang membuatnya menjadi perempuan paling beruntung –sekaligus menyedihkan. Semua karena rasa cintanya pada seorang Esta, Smesta Mahatvavirya.

Adalah Esta. Bukan dengan temalinya ia menjeratku. Bukan dengan ponyet emasnya ia menghujam dadaku. Tidak juga dengan deru senapannya dia menghentikan detakan jantungku. Lalu hari-hariku mudah runtuh dan menderu manakala mendengar sedikit saja segala hal tentang ksatrian itu disebut. 

Hubungan keduanya semakin dekat, hingga mereka yakin bisa sampai pada tahap itu; menikah. Percintaan keduanya pun penuh emosional, mengalami naik-turun. Tapi Koella tahu, itu tak mungkin. Ia anak seorang PKI –meski sebenarnya tidak. Akhirnya ia berniat untuk mengungkapkan semuanya pada Esta, sekaligus mengakhiri hubungan mereka. Ternyata Esta tak lantas mundur dan melepaskan kekasihnya. Ia tetap mempertahankan Koella. Ia mencintai perempuan itu. Sangat.

Sampailah kita pada akhir cerita; bagaimana Koella dan Esta menyelesaikan masalah mereka. Dan saya kecewa, kesal, mungkin sedikit marah. Saya sudah menebak dari awal bahwa mereka kemungkinan besar tidak bisa bersama. Tapi tidak harus seperti itu, ‘kan?! Bagi saya, ending kisah yang rumit ini (sangat) egois.

Iya, mereka egois.  Kalau memang berpisah, ya pisah saja. Mengapa harus mengorbankan orang lain lagi demi hubungan mereka. Tapi cinta memang seringnya begitu; bisa membuat manusia menjadi egois, gila, atau pun buta.

Bagaimanapun, itulah yang mereka pilih untuk kisah mereka. Cinta mereka.


Meski agak tertatih di awal cerita, namun saya akhirnya bisa menikmati alur cerita yang disajikan Mbak Herlina.  Dengan bahasa yang puitis, analogis, dan disisipi bait-bait sajak. Saya juga agak sebal ketika penulis mengulang-ulang hal yang sama, semisal: tentang ia yang bernama Koella, rindunya pada Esta, ataupun kisah bapaknya yang di-PKI-kan. Sebenarnya memang tidak masalah dengan pengulangan, hanya saja ini terlalu sering dalam jeda yang tidak lama. Novel ini bagus. Premis yang menarik dan dirajut dengan kata-kata indah.
Tiga bintang untuk Koella.

Panggil aku Koella, sejati perempuan setia.



Kota Hujan, 10-05-2015