Rabu, 03 Desember 2014

Setangkai Hati


Jevan melambaikan tangan pada Namira dan Ale --istri dan anaknya-- yang berada di atas kuda komidi putar yang mulai bergerak. Malam ini adalah akhir pekan, dan ia selalu mengkhususkan akhir pekannya untuk keluarga. Sambil menyilangkan tangan di dada, ia memilih untuk menunggu tak jauh dari wahana yang ada di pasar malam di alun-alun kota itu. Tiba-tiba seorang anak lelaki berambut keriting menarik-narik ujung jaketnya. Disodorkannya setangkai hati berwarna merah pada Jevan yang sedikit kebingungan. Ia berpikir mungkin anak itu sedang kehilangan orang tuanya. Ya, di tempat ramai seperti ini sudah sering terjadi hal seperti itu.
Ia membungkukkan badan agar lebih dekat dengan anak lelaki di depannya. “Ada apa, Dek?”
Anak itu tersenyum hingga terlihat deretan giginya yang rapi. “Ini hati pertama untuk Oom,” ujarnya.
Kening Jevan berkerut melihat setangkai gulali merah berbentuk hati yang disodorkan anak lelaki itu padanya. Dengan sedikit ragu, ia menerima gulali itu. Oh, bukan karena Jevan mencurigai anak lelaki itu, tapi kalimat yang diucapkannya. Kalimatnya mengingatkan Jevan pada seorang gadis dari masa lalu. Leya, cinta pertamanya.
Belum sempat Jevan bertanya, anak lelaki yang tadi memberikan gulali padanya sudah berlari ke arah lain. Ia hilang dalam kerumunan alun-alun kota yang luar biasa ramai di akhir pekan. Meninggalkan setangkai hati berwarna merah dan tanya yang mulai mengisi kepala.
Kaukah itu Leya? Yang memberikanku setangkai hati ini?

**

Kamu suka yang berbentuk hati. Selalu bentuk yang sama dan berwarna merah. Bukan bentuk dan warna yang lain. Aku pernah menanyakan tentang itu, tentang gulali kesukaanmu. Kamu hanya akan tersenyum. Tak pernah ada jawaban selain karena kamu menyukainya.
“Mengapa selalu berbentuk hati?” tanyaku ketika kita menunggu gulali pesananmu dibentuk oleh si penjual gulali langgananmu. “Bentuk bunga atau kupu-kupu juga cantik bukan?”
Sepasang mata cokelatmu memandangku sejenak sebelum kembali pada jemari kurus yang terampil membentuk hati pesananmu. “Karena aku menyukainya,” jawabmu singkat dengan mata yang seolah takut kehilangan momen bagaimana hatimu dibentuk.
“Hanya karena suka? Tidak ada alasan lain?” Aku masih penasaran. Ini adalah kali kesekian aku menemanimu membeli penganan gula kental yang manis itu.
“Apakah menyukai sesuatu harus selalu dengan alasan, Jevan?” Kamu mengakhirinya dengan senyum di bibirmu yang merah muda. Dan aku, diam.
Lelaki kurus itu menyerahkan setangkai hati pertama yang kamu sambut dengan mata yang berbinar. Kamu memandangi hasil karya lelaki itu beberapa jenak. Seolah meneliti sebuah karya seni yang langka. Plastik bening yang membungkus hatimu itu pun kamu rapikan. Lalu mengikat tali menjadi simpul berbentuk pita di bawahnya. Itu ritualmu setiap kali membeli gulali. “Hati pertama ini untukmu,” ujarnya. 

**

Gulali berbentuk hati dan berwarna merah. Langkahnya terus menyusuri alun-alun kota, mencari seseorang. Ia sangat yakin bahwa yang memberikan setangkai gulali itu adalah Leya. Perempuan yang dulu selalu memberikannya setangkai hati pertama tiap kali mereka membeli gulali bersama.
Wahana komidi putar sudah jauh darinya. Di kepalanya tak terpikirkan bagaimana jika Namira dan Ale kebingungan mencarinya nanti. Ia hanya ingin bertemu dengan Leya meski tak yakin juga apa yang akan dikatakannya nanti jika mereka bertemu.
Jevan menemukan seorang pedagang gulali yang sedang sibuk membentuk gula kental panas dari wajan kecilnya. Ia menghampirinya, berharap Leya ada di sana. Tak ada perempuan itu di antara para pembeli yang sedang menunggu gulali mereka. Leya mungkin sudah pergi.
Ia belum menyerah. Dilangkahkan lagi kakinya ke arah lain, ke mana saja karena ia pun tak punya arah. Lalu ia teringat tempat kesukaaan Leya jika ada festival atau acara seperti pasar malam seperti ini, kembang gula!
Tepat! Seorang perempuan berambut hitam sebahu dengan dress hijau floral selutut ada di sana. Senyum Jevan terkembang. Itu Leya!
Jarak mereka tidak jauh, hanya sekitar lima meter, namun tiba-tiba ada rombongan anak muda yang mengahalangi jalannya. Membuatnya terpaksa melambatkan langkah. Dengan tubuhnya yang tinggi, ia masih bisa melihat perempuan itu memegangi kembang gulanya. Perempuan itu tersenyum ke arahnya sebelum akhirnya melangkah pergi. Ia mempercepat langkahnya menuju stan kembang gula. Berkali-kali pula ia harus meminta maaf pada pengunjung yang tanpa sengaja tersenggol tubuhnya saat ia mencoba menerobos jalan.
Leya sudah pergi. Ia terlambat lagi.

**

“Aku akan menikah,” ujarmu pelan, bahkan sangat terlihat santai. Tanpa beban. Kamu mengucapkannya seolah sedang mengatakan kalau kamu ingin makan atau ingin pergi tidur. Sementara itu jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya ketika kamu mengucapkannya beberapa detik lalu.
“Menikah?” ulangku terkejut. Ya, aku berharap kamu sedang bercanda tadi. Aku bahkan belum sempat mengungkapkan perasaanku padamu dan sebentar lagi kamu akan jadi milik lelaki lain. Secepat itukah, Leya? Atau aku yang terlalu bodoh, membiarkan lima tahun berlalu begitu saja.
Kamu tersenyum dengan mata yang tak beralih dari hati kedua yang sedang dibentuk. “Kurasa kamu belum butuh pergi ke dokter THT, Jev.”
“Kamu akan menikah dan baru memberitahuku sekarang?” Aku masih mencecarnya soal pernikahan. “Bahkan kamu bisa begitu santai memberitahukannya padaku, seolah itu adalah kabar tak penting,” ujarku geleng-geleng kepala dan kusisipkan kekehan pelan yang kupaksa keluar. Menutupi lubang yang mulai menganga dalam hatiku.
“Kamu itu orang sibuk, Jev. Sulit menghubungimu,” jawabmu bergurau. “Dan kamu juga tahu bukan bahwa aku paling sebal jika menunggu terlalu lama?”
Ya, kamu betul Leya. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk berperang sendiri tentang perasaanku padamu hingga tanpa sadar telah membuatmu menunggu terlalu lama. Kamu pasti berpikir bahwa aku hanyalah Jevan, si pecundang yang bodoh.
“Jadi dengan siapa kamu akan menikah?”
Jemarimu merapikan hati kedua milikmu. “Dengan lelaki yang kepadanya akan kuberikan hati kedua ini,” jawabmu sambil menunjukkan gulali merah berbentuk hati yang sama dengan milikku.

**

“Ayah....” Dilihatnya tangan kecil Ale melambai ke arahnya, mencoba memberi tanda keberadaannya. Pun Namira yang berdiri di sampingnya, melakukan hal yang sama. Kini ia sedang berdiri di persimpangan. Terus berlari mencari Leya atau kembali pada Namira dan Ale.
“Kamu ke mana sih? Kita nyari kamu daritadi,” keluh Namira kesal.
Jevan mencoba tersenyum pada Namira, istrinya. “Maaf ya, tadi seperti melihat teman lama.”
“Siapa? Sudah ketemu?” Pertanyaan Namira dijawab dengan gelengan kepala olehnya. Tiba-tiba raut wajah Namira berubah sedih.
“Ayah, aku mau itu....” Ale menunjuk sesuatu yang ada di genggaman ayahnya.
“Hati pertama untukmu, Nak.” Senyum Jevan mengembang. Ale sangat antusias menerimanya.
Jevan menyadari wajah sedih istrinya itu lalu bertanya, “kamu kenapa, sayang?” Diusapnya rambut Namira dengan lembut.
“Barusan Vanya kabarin aku tentang Leya,” jawabnya sedikit ragu. Ia tak yakin Jevan akan baik-baik saja setelah mendengar kabar tentang teman lamanya ini. “Leya meninggal sore tadi di Amerika, jenasahnya akan tiba di Indonesia besok pagi.”
Bibir Jevan terkatup rapat. Kepalanya masih sulit mencerna kata-kata dari Namira. Istrinya pasti sedang bergurau. Tapi ia tak menangkapnya di wajah Namira. Ia benar-benar serius tentang Leya. Matanya langsung diarahkan ke atah stan kembang gula tempat terakhir melihat perempuan itu. Lalu beralih cepat ke arah hati yang ada di tangan Ale. Dadanya terasa sesak. Bibirnya tak mampu mengeluarkan apapun. Ia hanya diam memandang Namira yang sama sedihnya dengan dirinya.
Leya masih hidup. Ia ada di sini.

****