Hujan mulai turun dengan derasnya di luar sana ketika aku baru saja mengeringkan tubuhku dari sisa-sisa air hujan dengan handuk kecil berwarna hijau sebelum aku benar-benar membersihkan diri. Entah kenapa saat aku mendekatkannya di wajahku untuk mengeringkan wajahku, sepotong ingatku tentang dia terputar. Aku kemudian duduk di kursi panjang di ruang tamu rumahku dan memandangi handuk kecil itu dengan satu senyum simpul terukir di bibirku.
“Keringin dulu mukanya pake ini,” ucapnya sembari mengeluarkan handuk kecil berwarna hijau dari tasnya dan menyodorkannya padaku.
Aku mendelik. “Enggak mau ah, bau kamu tau..” kataku sambil mengembalikan handuk itu padanya sambil tertawa.
“Lho bau gimana? Wangi gini juga.” Dia mencium handuknya ingin memberitahuku kalau handuk itu tidak bau. “Nih cium deh.” Katanya lagi dan kali ini dia mendekatkan handuk itu ke depan hidungku. “Wangi kan? Hhehee..”
“Bauuuu…” kataku sambil melempar ke arahnya.
“Wangi, dek.”
“Bau juga, kan abis kamu pake buat ngelap keringet pas latihan.”
“Itu kan pake yang satu lagi.”
“Hahahaa.. masa?” godaku.
“Beneran lho, cium lagi deh.” Sekali lagi dia mendekatkan handuk itu tepat di hidungku. Sebenarnya memang tidak bau, wangi parfumnya bahkan, tapi aku hanya bercanda saja tadi untuk menghangatkan suasana di tengah dinginnya hujan yang semakin deras.
Aku tertawa. “Iya iya wangi,” kataku sambil mengambil handuk itu dan mengeringkan wajahku. Kami saling diam untuk beberapa saat sampai akhirnya dia beranjak dari tempat kami meneduh dan hanya berkata, ”Tunggu disini bentar ya.”
Aku mencoba menahannya tapi dia sudah berlari entah kemana dan aku ia tinggalkan bersama orang-orang yang tak ku kenal yang sama-sama sedang meneduh dari derasnya hujan yang mengguyur Bogor sore ini. Aku mendengus kesal karena ditinggal sendiri di tempat ini tanpa tahu dia pergi kemana. Aku merogoh tas milikku mencari ponsel. Kuketik sms ke nomornya untuk menanyakan kemana dia pergi. Lima menit, sepuluh menit, dia belum kembali dan hujan makin deras saja.
Aku mulai kesal padanya, kukirimi dia satu sms lagi. “Kalau kamu enggak balik dalam waktu lima menit aku pulang sendiri!”
Tapi tidak sampai lima menit menurut jam tanganku, tiba-tiba ia sudah berdiri disampingku dan aku langsung menoleh ketika mencium satu aroma yang kusuka. Aku melihat lelaki yang tadi baru saja kuancam itu berdiri di sampingku dengan membawa dua buah gelas minuman yang wanginya sangat kukenal. “Nih moccacino kesukaanmu biar ga kesel lagi,” katanya sambil menyodorkan satu gelas moccacino yang masih hangat. “Makasih ya..”jawabku tersipu sambil menerima gelas darinya.
Kami saling diam beberapa saat. Aku menikmati aroma kopi dari gelasku. Memang belum lama aku menyukai minuman yang kini sangat kusuka aromanya, atau mungkin lebih tepatnya ketika lelaki di sampingku ini menawarkanku dengan sedikit memaksa tentunya untuk mencoba kopi hitam. Awalnya aku merasa aneh dengan rasa pahitnya dan aku menolak untuk meminumnya lagi. Tak putus asa, dia pun mengganti kopi hitam dengan cappuccino instant dan dia berhasil membuatku jatuh cinta dengan kopi.
Setelah itu seringkali aku membuat kopi untuk menemaniku mengerjakan tugas-tugas yang kadang kukerjakan sampai larut atau ketika mood-ku sedang tidak bagus. Dia juga seringkali mengajakku menikmati berbagai jenis kopi di berbagai tempat, bahkan dia sering membawakanku kopi khas dari beberapa daerah jika ia pergi ke luar kota. Aku jadi tahu bagaimana rasanya kopi Gayo, kopi Linthong, kopi Luwak, dan kopi putih.
Rasa kopi dan coklat yang menyatu dalam moccacinoku mampu melumerkan rasa kesalku beberapa menit yang lalu. “Ga jadi pulang sendiri kan?” godanya. Aku tertawa malu. “Bener kan kataku waktu itu?” katanya lagi.
Aku sedikit berpikir, berusaha mengingat kata-kata apa yang dia maksud. “Kata-kata yang mana?”
“Waktu kamu pertama kali nyobain kopi. Inget ga?” Aku menggeleng. “Ah kamu mah kebiasaan deh cepet lupa.”
“Enak aja cepet lupa,”kataku sambil memukul lengannya. “Ga penting kali tuh, jadi ga perlu diinget.”
Dia tertawa. “Ngeles aja kamu.”
“Bajaj kali ah suka ngeles,” balasku. Dia tertawa lagi. Andai dia tahu kalau senyum dan tawanya itu sama seperti wangi kopi yang mampu melumerkan hatiku.
“Masa ga inget sih waktu aku bilang kalau kopi itu seperti cinta.”
Memoriku menemukan kejadian saat ia mengatakan kata-kata itu ketika ia kami minum kopi bersama di teras rumahku. Aku tersenyum dan melanjutkan kalimatnya persis seperti yang ia katakan waktu itu. “Seperti cinta yang menghangatkan dan mampu melebur rasa menjadi lebih indah.”
“Dan kopi itu seperti kamu. Jadi ketika aku kangen kamu, aku akan buat kopi dan menikmatinya untuk menghangatkan hatiku dan melebur rasa kangenku seperti aku udah ketemu kamu.”
“Gombal ah..” kataku dengan tertawa. Dia pun ikut tertawa.
Aku menyeruput lagi moccacino dari gelasku sambil menikmati senyumnya. Kemudian dia beranjak lagi. “Mau kemana lagi?” tanyaku. Dia tak menjawab dan berjalan menghampiri seorang laki-laki yang masih berseragam putih abu. Entah apa yang akan dilakukannya, mereka terlihat berbicara dan kemudian dia memberikan selembar uang kertas kepada anak SMA yang kemudian menyodorkan gitar padanya. Dia kembali ke tempatku sambil membawa gitar.
Aku yang penasaran kemudian bertanya. “Kamu mau ngapain?” tanyaku.
Dia meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya dan kemudian berkata, “Just listen and enjoy it.” Aku menurut saja dan beberapa detik berikutnya jari-jarinya bergerak memetik senar-senar gitar dan dia bernyanyi. Aku tak asing dengan lagu yang dinyanyikannya karena lagu itu memang salah satu lagu kesukaanku. Ingin rasanya aku berteriak dan memeluknya tapi rasanya tak mungkin, dan semuanya aku simpan dalam senyum. Suaranya yang memang bagus makin membuat hatiku bergemuruh hebat. Rasanya hujan yang turun itu bukan berupa air melainkan bunga-bunga yang berwarna-warni dan langit kelabu itu seolah menjadi biru.
Nobody knows just why we’re here
Could it be fate or random circumstance
At the right place, at the right time two roads interwine
And if the universe conspired
T o meld our lives to make us fuel and fire
Then know where ever you will be, so too shall I be
Close your eyes, dry your tears
‘Coz when nothing seems clear
You’ll be safe here
From the sheer weight of your doubts and fears
Weary heart, you’ll be safe here
Remember how we laugh until we cried
At the most stupid things like we were so high
But love was all what were on, we belong
And though the world would never understand
This unlikely union and why it sill stands
Someday we will be set free, Pray and believe..
When the light disappears and when this worlds insincere
You’ll be safe here
When nobody hears you scream, I’ll scream with you
You’ll be safe here
Save your eyes from your tears when everything’s unclear
You’ll be safe here
From the sheer weight of your doubts and fears, wounded heart.
When the light disappears and when this worlds insincere
You’ll be safe here
When nobody hears you scream, I’ll scream with you
You’ll be safe here
When no one understands, I’ll believe
You’ll be safe here
Dia mengakhiri petikan gitarnya dan melanjutkan lirik terakhir tanpa suara gitar. Dia meraih tanganku, menatap mataku, dan bernyanyi, “Put your heart in my hand, you’ll be safe here...” Aku tersenyum lebar dan merasa bahagia sekali saat itu.
Hujan sudah mulai reda ketika ia mengakhiri lagu milik Rivermaya tersebut, dan anak SMA tadi menghampiri kami. “Maaf mas, gitarnya udah selesai kan?”
Kami menoleh dan ia melepaskan tangannya dari tanganku. Ia kemudian mengembalikan gitar tersebut ke pemiliknya. “Makasih banyak ya, belajar yang rajin ya,” katanya pada anak SMA itu. “Iya mas, permisi.” Anak itu pun pergi meninggalkan kami yang masih duduk di depan ruko yang tutup ini. Orang-orang yang tadi sama-sama meneduh bersama kami dan ikut menyaksikan adegan yang menurutku romantis tadi mulai berlalu juga untuk melanjutkan perjalanan. Bahkan beberapa orang menghampiri kami dan memuji apa yang dilakukannya barusan.
Kami kemudian saling pandang dan tawa pun pecah di antara kami. “Suara kamu bagus, Mas,” pujiku.
Dia tersenyum dengan lesung pipi di kedua pipinya. “Biasa aja ah, dek,” katanya malu-malu. “Masih kalah sama penyanyi favoritmu.”
“Tapi makasih banget ya Mas buat kopi, rivermaya dan hari ini,” kataku. “It’s a nice rain with you.”
Sejak saat itu hujan memiliki arti khusus bagiku. Seperti di sore ini ketika hujan turun deras di luar sana, aku menghangatkan hati dan diriku dengan secangkir kopi putih dan lagu Rivermaya yang berjudul you’ll be safe here, sama seperti yang ia lakukan ketika ia rindu padaku. Aku bukannya ingin terlarut dengan kenangan, tapi aku hanya mencoba melebur rasa rinduku pada orang yang telah meninggalkan satu rasa yang mendalam di hatiku. Air mataku terjatuh perlahan tanpa kusadari.
Ibuku yang ternyata sejak tadi memperhatikanku kemudian menghampiri aku. Dipeluknya aku menangis lagi dan berkata dalam tangis, “Maaf ya Bu, aku masih melakukan ini.” Aku menyeka air mata.
“Ibu masih maklum, Dis,” jawab Ibu sambil membelai rambutku. “Tapi kamu jangan terlalu lama larut dalam semua itu, kamu harus belajar melepaskan diri dari belenggu masa lalu kamu dengan Henry.”
Ibu memang benar, aku harus memulai hidupku yang baru tanpa Mas Henry. Aku harus membiarkannya pergi. “Tapi bu, aku mau minta tolong sama Ibu.”
“Minta tolong apa, Dis?” Tanya Ibu.
“Besok mau kan antar Dissa ke makam mas Henry?” pintaku. Ibu tersenyum dan mengangguk setuju. Aku memeluk Ibu lagi dan menata hati serta menguatkan hatiku untuk mengunjungi tempat terakhir Mas Henry, tunanganku yang meninggal saat menjalankan tugasnya sebagai seorang Tentara Nasional Indonesia di daerah konflik satu tahun lalu.
I’ll always love rain and a cup of coffee with you.
And you’ll be safe here.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar